Bab 13 : Bulan

37 4 1
                                    

Ketika gelap menyelimuti, bulan terbit dari kaki langit. Lentera malam itu memberi senyum kepada seluruh yang suram bersama matahari dan angkasa yang membimbing.

Kilat menyambar dengan terang di tanah Tumpah Sari. Geledek menggelegar seperti genderang di saat perang. Rintik-rintik mulai menghujat daun-daun pelepah di luar kandang kambing. Seng-seng tipis mulai melintangkan sayapnya, melepas diri dari genteng-genteng yang tak kokoh menggenggam.

Riuh hujan membentengi rintihan kambing yang sedang melahirkan di kandangnya. Anak pertama binatang bertanduk itu sulit untuk menyembul keluar dari kecilnya jalan keluar. Meskipun kambing itu mengejan sekuat tenaga, tidak ada tanda-tanda terbitnya kehidupan baru yang lahir dari liang rahimnya.

Setelah sekian lama, daging berbulu putih pun menyembur keluar bersama cairan-cairan merah lengket. Baru pertama kali menyapa dunia, bayi kambing yang kira-kira seberat 10 kg itu berusaha untuk berdiri tegap. Akan tetapi, kakinya masih terlalu rapuh untuk mengangkat diri. Hanya embekan yang terdengar dari kandang kambing kotor berukuran 10 x 10 meter itu, tidak ada tangisan, sama seperti aku saat lahir, dan Luna.

Gadis mungil bernama Luna Purnama Sari yang lahir di RSS itu tak menjerit, meskipun jarum suntik berulang kali menembus kulitnya. Aku pun tenggelam dalam syok berat saat dokter mendiagnosis putriku itu dengan penyakit yang sama denganku, CIPA.

CIPA seharusnya tidak bersifat turun-temurun, hanya congenital. Kenapa harus putriku? Kenapa aku? Aku terasa seperti dikhianati Tuhan yang sengaja menjatuhkan tangga kepadaku yang sudah tak berdaya di tanah.

Proses kelahiran Luna tidak memakan waktu dan uang karena aku dapat menangkal rasa sakit. Akan tetapi, aku dan Angkasa menetap lebih lama di RSS karena Luna harus menghisap oksigen dalam kaleng. Gadis rapuh itu mengalami gangguan pernapasan yang mungkin disebabkan paru-parunya belum siap menerima udara di luar, atau mungkin karena CIPA. Pada akhirnya, kami merogoh kantung kami lebih dalam dan duduk lebih lama di RSS.

Tiga hari berdoa di mesjid RSS terbayarkan dengan pulihnya tubuh mungil Luna. Paru-parunya akhirnya dapat menerima udara luar. Meskipun begitu, doaku tidak putus-putus karena beban yang sebenarnya baru dimulai saat Luna di gendonganku.

Gadis itu begitu mungil, tangannya hanya dapat menggenggam sebagian jari tulunjukku. Matanya kelam seperti malam, sama seperti milik Angkasa. Salju kalah putihnya dengan kulit Luna. Beratnya tak lebih dari 5 botol sedang Aqua. Kulitnya merah jambu seperti rona pipi seorang gadis yang baru dilamar.

Segala tentangnya membuatku bahagia. Akan tetapi, kadang kala, tangisannya mengakibatkan roda-roda gelisah berputar dengan cepatnya. Lima hari pertama, aku dan Angkasa sama sekali tidak mengedipkan mata. Bukan karena perut kami keroncongan atau tangisan bayi yang baru mengenal dunia, melainkan karena kekhawatiran yang terus menghantui.

Sekarang aku tahu bagaimana perasaan ibu dan bapakku ketika aku lahir dahulu. Perasaan mereka mungkin sama persis denganku sekarang yang menimang anak berkebutuhan khusus.

Pada hari-hari berikutnya, sejenak kami melepas mata dari Luna dan menaruh kekhawatiran terhadap kantung-kantung beras yang kosong. Kemiskinan di Tumpah Sari masih memorakporandakan taman keluarga kami yang di dalamnya bunga harapan baru mekar. Tidak mengenal baru atau tidak, kemiskinan menghantam setiap orang yang ditemuinya, termasuk keluarga kami.

Aku dan Angkasa berusaha melindungi Luna dengan segenap akal, jiwa, dan raga kami. Bahkan, kalau perlu kami mengorbankan air kehidupan kami untuk diserap oleh Luna. Segalanya kami perbuat untuk melihatnya berkembang menjadi bunga yang diharapkan taman kami.

Tidak ada yang tidak kami berikan untuk Luna, termasuk kerupuk bundar yang termasuk lauk mahal saat ini. Ketika Luna menyantap bubur dan kecap, aku dan Angkasa menikmati nasi kering dan garam. Ketika Luna mengemil susu dari tubuhku, aku hanya menghisap tebu. Ketika tidak ada apa pun untuk dikorbankan ke mulut Luna, kami menari dan menyumbangkan senyum, meskipun perut berdendang dan hati merintih.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang