Bab 34 :

17 3 0
                                    

Mata besar. Mata besar itu selalu mengawasiku. Mereka ada di mana-mana. Di langit-langit rumahku, di toilet, di bawah kantung bajuku. Mata itu tak pernah berhenti mendelik ke seluruh tubuhku.

Bukan hanya mata, mulut raksasa dengan gigi-gigi runcing itu juga mengikutiku ke mana-mana seperti terdapat tali yang menghubungkanku dengannya. Air liurnya mengalir bagaikan keran di wastafel. Lidahnya menjulur panjang sepanjang tubuh orang dewasa.

Mata dan mulut itu tidak pernah membiarkanku sendirian dan selalu memastikan aku sendirian. Ibu dan Ayah ditelan utuh oleh mulut itu. Semua orang yang bersua denganku harus merasakan lengketnya air liur mulut raksasa itu.

Luna bersandar di pundakku.

Mulut raksasa itu mengambil ancang-ancang untuk melahap Luna. Aku berhasil menghindarkan dirinya dari malapetaka. Keteguhan mulut itu begitu kuat; organ yang tersusun dari mulut, gigi, bibir, dan gelap itu mengejar kami.

Aku terpeleset. Luna tak terikat lagi dengan tangan hangatku. Mulut raksasa itu menghampiri Luna yang tak berdaya. Organ menjijikkan itu pun memakan Luna seluruh. Aku tak mampu melakukan apa-apa kecuali mendengar jerit pedihnya saat melewati kerongkongan mulut raksasa tersebut.

Pelupukku terbuka. Cahaya lampu memenuhi mata. Buram pun pudar seketika. Aku menemukan diriku terlilit infus dan respirator. Ternyata, itu hanyalah satu dari ribuan mimpi buruk yang pernah menghantui malamku.

"Kau sudah bangun rupanya," kata Bintang di sampingku. Dia menyenteri mataku untuk memastikan pupilku. "Apa kau ingat apa yang terjadi terakhir kali? Apa kau tahu namamu?"

"Kirana Siti Nur'aini," kataku. "Di mana putriku?"

"Luna tidak ditemukan di mana-mana. Jangan berpikir yang lain, fokus terhadap dirimu sendiri," kata Bintang. "Apa yang terjadi terakhir kali?"

"Aku tidak terlalu ingat, tetapi seorang pria mencoba membunuhku dengan pisau di ruang klinik," kataku memejamkan mata mencoba mengingat yang telah terjadi.

"Kau tertusuk pisau di dada. Beruntung pisau tersebut hanya sampai pada otot jantung dan melubangi ventriklemu," jelas Bintang.

Sedikit demi sedikit, aku bangkit dari tidur. Pusing menguasai kepalaku saat punggungku memancang seperti menara. Bintang menidurkanku kembali dengan paksa.

"Kau harus istirahat penuh," kata Bintang. "Tubuhmu belum siap."

"Tidak," kataku menyingkirkan tangan Bintang dari kepalaku yang tak berhijab. "Aku harus mencari anakku. Dia pasti sedang dalam bahaya."

"Jangan khawatirkan itu dahulu. Pikirkan tubuhmu. Kau telah mengalami penusukan yang hebat. Kau harus istirahat. Lagi pula, seluruh staf telah Selasa kerahkan untuk mencari putrimu," kata Bintang.

"Bagaimana dengan orang yang mencoba membunuhku?" tanyaku.

"Dia mati." Bintang mendekat dan mendesis ke telingaku, "Pedang membunuhnya setelah dia menusukmu dengan pisau. Sekarang, satpam itu berada di kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut untuk tindakannya yang... kasar."

Mata Bintang berbinar. Dari tangannya yang hampa, aku merasakan kehangatan seseorang yang merindukan cinta. Detik demi detik, aku habiskan dengan bercengkerama dengan Bintang seputar masa SMA kami yang penuh canda tawa. Mulutnya mengatakan tidak ingin bersamaku karena Selasa mengikatnya dalam pernikahan, tetapi matanya masih ingin meraih jariku dan mengalungkannya cincin ametis yang berkilau. Aku merasakan masih ada kobaran cinta di mata Bintang.

"Assalamualaikum," ucap seorang pria berlengan satu yang tak asing lagi bagiku. Angkasa menjinjing rangkaian bunga melati yang aromanya harum menusuk hidung. Selain aroma melati, Bintang sepertinya mencium bau kecemburuan yang berpangkal di hati Angkasa. Bintang pun bergegas meninggalkan ruangan.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang