Bab 1 : Sayat di Hati

260 6 0
                                    

Orang-orang pernah merasakannya. Mereka seringmenyebutkannya ketika kaki menginjak paku, ketika api menyambuk kulit, atauketika pisau menembus jantung. Namun, aku mempunyai nol pengalaman untuk kata'sakit'. Salah satu guru yang mengajarkan kata 'sakit' adalah Bapak

Langit malam terus terisak. Ranting-ranting pohon membanting atap dengan keras bersama dengan gemuruh langit. Petir terus menghujat tanah yang damai, menghanguskan pohon randu sekaligus burung hantu dewasa yang bertengger di dahannya. Anak burung hantu itu tiba. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menonton dewa kematian mengasah sabitnya. Akhirnya, bapak burung hantu itu berkoak untuk terakhir kalinya.

Rintik hujan di luar tidak kalah derasnya dengan rintik di dalam kamar Bapak, di rumahku sendiri. Semua orang menangisi orang tua yang nyawanya hanya tinggal sepangkal leher itu. Orang-orang bergantian menyumbangkan ucapan selamat tinggal dan belasungkawa kepada orang tua itu seperti mengantre sembako. Orang yang sedang sekarat itu adalah bapakku sendiri.

Ketika orang-orang mengerubungi bapakku seperti laron di lampu tengah malam, aku berdiam diri di dalam kamar gelap, sempit, dan berantakan ini. Tiba-tiba, ketukan pintu membuat isakku tertunda sesaat.

"Kirana, apa kau tidak mau mengucapkan selamat tinggal kepada bapakmu?" tanya Angkasa, sahabat baikku yang kuperoleh sejak lahir.

"Percuma saja," kataku. "Kehadiranku hanya akan membuatnya dan yang lain semakin sedih."

"Setidaknya kau harus mendapinginya untuk saat-saat terakhir hidupnya," rayu Angkasa. Angkasa membuka pintu dan mendekatiku yang sedang menutup wajah dengan guling. "Kau pasti akan menyesal di kemudian hari karena tidak memberikan lambaian terakhir kepada bapakmu sendiri."

Angkasa mengait tanganku dengan paksa dan memberikan tatapan paling merayu yang dimilikinya.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi jika keadaan semakin memburuk, aku akan keluar dari sana."

Kamar bapakku yang sebelumnya diisi oleh sedu yang melawat kini diam ketika aku menapakkan kakiku di sana. Semua wajah yang larut dalam duka itu meratapiku dengan tajam. Desis-desis gaib pun mulai terdengar di tengah kerumunan.

Lautan orang-orang terbelah seiringan dengan langkah kakiku menuju tempat tidur Bapak. Perlahah-lahan, di balik lautan kesedihan itu, aku melihat bapakku yang terbaring sakit. Tubuhnya penuh luka bakar. Meskipun masih jauh, aku dapat mendengar jeritan kepedihan di dalam bibir yang bungkam itu. Meskipun luput dimakan bau dingin malam, aku masih mencium bau daging panggang dari kulit bapakku.

Dengan sedikit gelengan kepala, semua orang keluar dari kamar. Yang tersisa hanya aku dan Bapak.

Ketika sepi sampai ke dasar, Bapak berkata, "Ayo, semakin mendekat. Jangan kau ragu atau jijik denganku, Ndok."

Aku merangkulnya dengan sekuat tenaga seraya berkata, "Bapak, maafkan aku Bapak... maafkan Kirana... Kirana tak sengaja membuat bapak begini. Kirana yang salah. Maafkan Kirana."

"Sudahlah, tidak semua salahmu. Lagi pula, kau tidak sengaja menumpahkan malam itu. Aku yang salah karena teledor; tidak memperkirakan kejadian ini terjadi," katanya sambil mengelus kepalaku. "Semuanya akan baik-baik saja."

Bapak salah; semuanya tidak baik-baik saja. Semakin hari, jeritan kepedihannya semakin meledak. Pada akhirnya, jeritan itu menjebol mulutnya yang bungkam. Tiga hari kemudian, beliau berkalang tanah karena infeksi yang masuk ke tubuhnya sudah mencapai batas akhir.

"Semuanya akan baik-baik saja." Itu adalah kata-kata terakhirnya kepadaku sebelum meninggal dan juga kebohongan terakhir yang keluar dari mulutnya. Kata-kata itu, entah kenapa, terus terngiang dalam telingaku seperti lebah dengan kepalaku bunganya.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang