Bab 39 : Jiwa Marah yang Tak Terlihat

27 2 0
                                    

Desa Tumpah Sari lengang, tak bersuara, tak berdecit. Langit tenteram tak berawan. Burung-burung melantunkan lagu lama. Kerbau dan kambing bersahaja bersama raja dan ratu persawahan di tegalan, meminum kopi, merangkul hati. Tak ada lidah-lidah tajam yang menggema di desa hijau itu. Semua binatang merajut harmoni dengan alam, kecuali seekor anjing.

Binatang liar itu menggonggong tak ramah kepada angkasa yang cerah. Matahari tampaknya membakar kulitnya, sehingga binatang berkaki empat itu tak melakukan apa-apa kecuali bertempik laung kepada sang pemberi terang. Burung-burung madu yang ingin menyeberang harus tertahan di dahan karena takut oleh binatang ganas itu.

Suara anjing itu lantang, dari sudut mana pun selalu terbetik. Angkasa yang melahap mimpi terbangun oleh suara anjing itu. Tak hanya itu, suara ketukan pintu tak membiarkan dirinya bercinta dengan kasur.

"Tok! Tok! Tok!"

"Sebentar!" teriak Angkasa mengusap wajahnya yang lebam karena malam menghajar dirinya yang memikirkanku dan Luna.

Angkasa berjumpa dengan sang pengetuk yang tak lain dan tak bukan adalah Mad Dog. Polisi yang memburu pelaku pencurian jasad Terra ini tak memberi salam atau sapaan ramah, yang dikatakannya hanya, "Bisakah aku bertemu dengan Kirana Siti Nur'aini?"

"Dengan?" tanya singkat Angkasa.

"Polisi," singkat Mad Dog. "Aku di sini karena... boleh aku masuk?"

Angkasa mendedahkan pintu untuk polisi itu dan mempersilakannya duduk. Kemudian, ke dapur, menyiapkan teh hangat untuk tamu terhormat. Selagi itu, Mad Dog menggali kehidupanku dari foto-foto yang terbingkai di ruang tamu. Saat teh tiba, Mad Dog bersila.

Angkasa memberikan salaman terhangatnya dan berkata, "Pak Polisi, apa yang membawamu ke sini?"

"Kebanyakan... insting," kata Mad Dog menyeruput tehnya. "Kau tahu siapa yang menyebabkan istrimu terluka parah sehingga jantungnya berlubang?"

"Tidak tahu," kata Angkasa mengerutkan dahi.

"Dia adalah orang yang kehilangan istrinya. Dia berkata bahwa istrinya telah dibunuh dan dikeluarkan organ-organ tubuhnya, tetapi polisi tak percaya dan menganggap pria itu gila," jelas Mad Dog. "Tetapi sekarang, kami percaya setiap kata-katanya. Pria itu telah mengarahkanku ke rumah ini."

Mad Dog melemparkan pertanyaan, kemudian Angkasa menjawabnya. Ini seperti permainan tenis dengan aku sebagai bolanya. Tak tampak pasrah dari keduanya. Mad Dog dan Angkasa terus beradu raket dalam lapangan sampai salah satu dari mereka kalah. Akhirnya, Mad Dog menyerah dalam pertandingan. Pria bertampang menyeramkan itu tak membawa piala satu pun ke mobil polisi yang dikendarai Sidik, rekan kerjanya sesama polisi.

Tak jauh dari mobil polisi, aku menyuruk di balik papan. Dengan kehadiran polisi di rumahku, aku menyimpulkan dua fakta. Pertama, rumahku bukan tempat yang aman lagi. Kedua, polisi itu berhasil mencium bauku dan Luna. Dengan kedua fakta tersebut, aku punya nyali untuk menemui suami. Aku dan Luna tak akan pulang untuk malam ini.

Aku tak akan ke RSS untuk beberapa hal ataupun ke tempat-tempat lain yang serasa aneh saat kukunjungi. Satu-satunya tempat untukku dan Luna beristirahat adalah masjid. Masyarakat dan Allah pasti selalu menerima kami tanpa pertanyaan-pertanyaan.

Tempat tidur sementara teratasi, tinggal satu masalah yang belum: Luna sakit. Tangan penjaga masjid tak meraba adanya demam di kening Luna dan juga gadis kecil ini tak mengindikasikan simtom apa pun, kecuali batuk-batuk dan sesak di dada. Pada malam ini, aku terus mengawasinya. Tidak ada satu pun kelopak mataku yang menutup pada malam ini.

Azan subuh membangunkanku dari ketertiduran. Aku menjumpai mulutku berdarah. Cairan merah yang telah mengental ini bukan hasil dari penusukan gigi-gigiku terhadap lidahku, melainkan dari kerongkonganku, yang mungkin berasal dari jantungku yang masih dalam tahap penyembuhan setelah penusukan.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang