Bab 41 : Purnama

86 7 1
                                    

"Hah! Pasti udah nunggu lama untuk acara penutup ini, kan?" tanya seorang moderator kepada penonton. "Untuk mengakhiri perayaan hari ibu, tanggal 22 Desember ini, kami tampilkan seorang gadis berbakat yang tidak hanya pandai memainkan jarinya di piano, tetapi juga pandai di semua mata pelajaran sehingga menjadi no.1 di sekolah ini, SMP Harapan Bangsa. Gadis yang bercita-cita menjadi dokter ini juga amat cantik jelita. Dia adalah impian semua pria. Sudah perkenalannya, mari kita panggilkan Luna Purnama Sari untuk naik ke atas panggung. Tepuk tangan yang meriah!"

Penonton bertepuk tangan meriah. Beberapa pria yang mengagumi Luna berkeplok marak hingga telapak merah berdenyut nyeri. Guru-guru serta pegawai sekolah melongok-longok ke samping karena murid laki-laki yang berdiri.

Tepuk tangan berapi-api bertemu redam. Namun, tidak ada tanda langkah kaki bintang yang ditunggu-tunggu. Kebingungan pun melanda semua orang, termasuk moderator dan teman-teman Luna.

"Di mana Luna?" tanya Respati, pria tampan, tinggi, dan rapi kepada seorang laki-laki montok.

"Aku tidak tahu, terakhir kali melihatnya saat aku mengistirahatkan ukuleleku di ruang kelas," kata Anggara, laki-laki subur berwajah seri yang tanpa melankolia. "Mungkin dia ke toilet, mungkin...."

"Di toilet tidak ada. Aku baru ke sana," kata Kejora, perempuan jelita berkulit jernih tanpa setitik pun debu dan noda. "Mungkin dia sedang persiapan matang, soalnya tadi malam bersama Giovani, dia bercerita tentang hari ini yang mengingatkannya kepada bundanya."

"Apa... apa dia... hilang!" panik Sani mulai berkaca-kaca matanya.

"Sebentar, aku akan lapor ke orang tuaku," kata Buda yang beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke seorang polisi gagah berpangkat komisaris yang mirip dengan Yayan Ruhian yang berperan sebagai Mad Dog dalam film The Raid: Redemption. Setelah menghadap ayahnya, Buda kembali ke teman-temannya. "Katanya, dia akan mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari Luna di gedung ini sampai dapat."

Sebelum terjadi histeria masal, tiba-tiba, rembulan hadir menghapuskan cemas di hati semua orang. Penonton mengikhlaskan aplaus sekali lagi. Seorang gadis berambut malam melangkah ke tengah panggung. Wajahnya manis, lebih manis dari gula mana pun. Tusukan matanya menembus hati para pejantan dan meluluhkannya bagai lilin yang dilahap api. Lambaian tangannya menebarkan bunga musim semi dari segala belahan dunia.

Luna mendudukkan dirinya di hadapan piano dan berkata, "Sebelum aku bernyanyi, aku ingin mengatakan rasa terima kasihku sebesar-besarnya kepada bundaku yang sudah lama meninggal. Dia telah berperan banyak dalam hidupku. Dia adalah yang membuatku hidup dan memberikan kehidupan kepadaku. Dia adalah segalanya. Oleh karena itu, aku mempersembahkan lagu ini... kepadanya."

Di hadapan Respati, Anggara, Kejora, Sani, dan Buda serta semua orang, Luna mulai menarikan jari-jarinya di lantai hitam putih dan bernyanyi...


Kubuka album biru

Penuh debu dan usang

Kupandangi semua gambar diri

Kecil bersih, belum ternoda

Pikirku pun melayang

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang,

Tentang riwayatku

Kata mereka diriku slalu dimanja

Kata mereka diriku slalu ditimang

Nada-nada yang indah

Slalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku

Tak kan jadi deritanya

Tangan halus dan suci

T'lah mengangkat tubuh ini

Jiwa raga dan seluruh hidup

Rela dia berikan

Kata mereka diriku slalu dimanja

Kata mereka diriku slalu ditimang

Oh, bunda ada dan tiada dirimu

Kan selalu ada di

Dalam hatiku...


Lagu yang dipopulerkan Melly Goeslow itu mencapai akhir. Tepuk tangan yang meriah menyamarkan gema sunyi yang menyelimuti seorang gadis yang kehilangan sosok bundanya itu. Di antara semua hiruk-pikuk, Angkasa yang paling lantang gaung tangannya, meskipun hanya menepuk-nepuk paha.

"Masih penasaran, bagaimana kau cebok dan makan setelahnya?" tanya Serigala kepada Angkasa yang hanya berlengan satu.

"Oh, hai, bagaimana kabarmu?" tanya Angkasa. "Kenapa kau kemari?"

"Putrimu menodongkan pistol ke kepalaku untuk datang ke sini," jelas Serigala. "Bagaimana keadaanmu dan keluargamu?"

"Alhamdulillah, aku bekerja sebagai pelatih penyandang cacat yang membuat kerajinan tangan di Solo. Luna, gadis itu selalu baik-baik saja, bahkan bertambah hebat setiap saatnya. Bagaimana denganmu?"

"Masih melolong ke dunia medis. Namun, dengan banyak perubahan di tempatku bekerja. Setelah Kirana dimakamkan, segalanya berubah. Hampir setengah dokter di RSS ditahan karena pembunuhan, penculikan, penipuan, dan hal-hal lainnya. Orang-orang itu termasuk Selasa dan Bintang, bibi dan paman Luna. Mereka berdua mendekam di penjara seumur hidup. Sekarang, aku yang harus menanggung beban sebagai pemimpin rumah sakit kecil itu."

"Hai!" sapa Luna menghampiri Angkasa dan Serigala.

"Permainan bagus di atas sana," puji Serigala. "Kau harus lebih menjaga keperawanan putrimu. Dia sangat luar biasa menggenggam hati laki-laki," kata Serigala kepada Angkasa dan meninggalkan mereka berdua.

"Aku telah menepati janjiku untuk bernyanyi di hadapan semua orang hari ini," kata Luna. "Sekarang, mana janjinya?"

Angkasa menggandeng Luna ke suatu tempat yang jauh dari Hari Raya Ibu dengan BMW megah miliknya. Mereka mendarat di suatu tanah lapang berumput semata kaki. Luna memungut semanggi, sedap malam, dan melati di sekitar sebelum singgah di makam orang yang tidak asing lagi baginya.

Keramik hitam bertuliskan "Kirana Siti Nur'aini" terpampang indah di tengah ladang ilalang yang penuh belalang. Itu halus dan licin saat tangan Luna mengelus keramik yang mewakili orang yang tertanam di dalamnya. Sinar matahari begitu kilau menghiasi tempat peristirahatan terakhir itu. Pelangi tak berakar pun terlukis di atasnya dan menciptakan bingkai harmoni.

Semanggi, sedap malam, dan melati merebah di makam itu. Gadis itu bersimpuh, menempatkan matanya ke nama bundanya. Tidak ada jarak antara Luna dan bundanya, kecuali hidup dan mati. Terpotret di sana foto indah seorang anak yang bersilaturahmi kepada bundanya.

Saat angin selesai melambai, Luna berkata, "Terima kasih banyak telah merawatku sejak lahir hingga aku hidup sekarang, Bunda. Terima kasih atas waktu yang diberikan, meskipun hanya singkat bersamamu. Kau telah memberikanku waktumu. Kau telah sangat berarti dalam hidupku. Aku... aku tak akan sanggup membayar kasih sayangmu."

Luna berbincang seolah-olah bundanya menitipkan telinga di atas liang lahadnya. Gadis itu mengumbar cinta besarnya kepada bundanya. Mereka bercengkerama lama seperti konsep jam, menit, dan detik tak berarti lagi.

Kesadaran akan waktu pun menceraikan ibu dan anaknya. Malam sebentar lagi menyapanya. Gegas pun dilaksanakan untuk menghindari gelap. Bulan yang mekar di angkasa yang penuh bintang menghiasi perjalanan pulang mereka. Cahaya rembulan begitu relap mengusir gelap. Rintik-rintik lampu yang berbanjar di pematang jalan kalah dengan benderang bulan. Segala yang utama adalah benda langit yang mencerahkan angkasa itu, yang lain hanya secuil rasa. Dialah yang terindah, bukan yang lain.

---------------------------TAMAT---------------------------

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang