Semua dokter mempunyai kompleks messiah. Mereka semua berpikir bahwa mereka adalah penyelamat, penyembuh, dan penghilang derita. Beberapa dokter bahkan berpikir untuk mengorbankan dirinya untuk pasien yang ingin ditolongnya. Bodoh, tetapi itu adalah kenyataan. Inilah kenyataanku. Aku ingin menolong semua orang, termasuk buah hatiku tercinta, Luna. Namun, aku tak bisa. Aku terkubur bersama kejahatan orang yang kukenal baik. Di dalam peti matiku sendiri, aku merenungi semua kesalahanku seraya menunggu sabit Malaikat Izrail selesai diasah.
Aku telah banyak berhadapan dengan kematian, tetapi bukan di diriku, melainkan pasienku. Namun, kini, aku bertatap muka dengan mati. Padahal, catatan Malaikat Atid menumpuk di pundakku daripada catatan Malaikat Raqib. Dengan aku mengepal skalpel untuk Pedang, pulpen Malaikat Raqib habis sementara tinta pulpen Malaikat Atid bertambah seiring dengan semakin banyaknya darah korban-korbanku yang mengalir deras.
Tak henti-hentinya hati kecilku menghakimiku dengan palu besarnya di hadapan para juri. Saat bayang-bayang kesalahan itu bergantian menuduhku sebagai pendosa besar, sebuah titik cahaya kecil menyingkirkan semua itu. Cahaya itu bernama Luna.
---------------------------oOo---------------------------
"Assalamualaikum," salamku di rumahku, di Tumpah Sari.
"Walaikum salam," balas Luna yang menyambutku di depan. Luna menangkap kekecewaan dan kegalauan dalam diriku. "Ada apa, Bunda?"
Iya, memang waktu itu aku tak mood. Nama pasienku diumumkan di pengeras suara dengan wajahnya ditutup dengan kain putih; aku gagal menyelamatkannya. Namun, aku berpose tegar di hadapan Luna untuk mempertahankan bingkai kebahagiaan dalam setiap foto Luna.
"Aku tidak apa-apa," kataku dengan senyum palsu.
Aku merebah santai memadamkan lejar erak di balai-balai. Luna bergegas duduk di pangkuku dan melekatkan tangannya ke dahiku. Luna pun berkata, "Temanku bilang kalau pegang begini bisa tahu kenapa olrang itu, tapi Lruna tidak melasakan apa-apa. Apa Bunda sakit?"
"Tidak, Bunda tidak apa-apa." Sekali lagi, aku mendustakannya.
Luna adalah manusia poligraf, dia tahu aku berbohong kepadanya. Namun, kepolosannya membawanya pada anggapan bahwa rumah yang kotor adalah penyebabnya. Luna pun mengangkat sapu, spon, dan pel untuk membersihkan seluruh rumah sampai ke sudut-sudutnya dengan harap-harap penyakit bundanya akan sirna setelah itu.
Begitu banyak kebaikan Luna sehingga aku tenggelam dalam selimut hangat kasih sayangnya. Aku pun menceritakan pasienku yang tak berhasil aku rebut dari liang kuburnya. Tidak hanya itu, aku pun mendongengkannya kisah dokter dengan segala asin, pahit, dan manisnya.
Luna meminjamkan telinganya hingga aku selesai mendongeng. Gadis itu pun memekarkan senyum kesejukan setelah lama tersulut api kekhawatiran. Dengan seperti akan hidup seribu tahun lagi untuk mendampingiku, Luna berkata, "Kalau begitu mah, Bunda jangan khawatil. Bunda kan punya Lruna. Lruna bisa kok jadi sahabat Bunda."
---------------------------oOo---------------------------
Semua waktu bersamanya, semua kata-katanya, semua perhatiannya, serta kenangan-kenangan itu tumpah di hadapanku pada saat aku tidak dapat mencapainya lagi. Jika saja aku tidak membantu membunuh orang... jika saja aku tidak mengenal Selasa... jika saja aku tidak menjadi dokter sejak awal, aku dapat menikmati waktuku bersama dengan putriku tercinta.
Jika aku dapat menangis seperti orang-orang, sudah pasti peti mati ini tenggelam oleh air mata. Aku, kenanganku, kerikil-kerikil kecil, serta cacing yang malang akan terpendam dalam larutan asin kesedihan. Mungkin yang paling sengsara adalah cacing ini karena tak akan mampu menghindari duka laraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.