Dua rembulan terlewati. Kucing yang hamil oleh pejantan-pejantan kampung telah melahirkan 4 anaknya. Lidah-lidah basah langsung menyambut kedatangan mereka di dunia. Namun, ada satu anak kucing yang tidak dimandilidahkan dan disusui ibunya. Mamalia mungil berkaki empat itu merintih tersedu-sedu karena ibunya membelakanginya dan bapaknya entah di mana.
Rintik-rintik kesedihan kucing kecil itu berjeda karena sepak kaki seorang wanita berumur 29 tahun. Kaki itu adalah milik Bibiku, Jaroh. Wanita yang baru-baru bercerai ini tinggal di gubukku dengan dasar salah satu wasiat Bapak sebelum napas terakhirnya yang berpesan agar aku dirawat oleh Bibi. Jadi, untuk sekarang, wanita bertahi lalat sebesar jempol di pipi ini adalah satu-satunya penyuap nasiku.
Umur dan pengalaman yang lebih banyak mengharuskan aku bersikap sopan kepadanya. Namun, dia sepertinya tidak begitu hormat denganku. Hal ini terlihat ketika aku berusaha mencium tangannya layaknya seorang anak yang berbakti, dia menyentak tangannya dan menatapku sinis. Bahkan, di depan pintu Bibi tidak mengucap salam. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah, "Di mana aku akan tidur?"
Jangkrik memainkan orkestra perdananya dengan rembulan sebagai tata cahayanya. Pohon jambu pun ikut serta di panggung itu sebagai pengiring angin. Malam ini malam yang merdu, meskipun bisik-bisik jam dinding selalu mengusik dan reyot-reyot kayu menghantui.
Aku terlambat membuka mata. Biasanya Bapak atau Ibu mengeret-eret kakiku untuk segera bangun pagi untuk solat subuh atau menyuruhku ke warung. Angkasa langsung menyambutku di depan rumah dengan tangan terbukanya. Hari ini, bocah ingusan itu berjanji untuk mengajakku untuk melangkah menggapai impianku sebagai dokter.
Angkasa menghanyutkanku ke desa seberang, Desa Mendung. Di sana, aku diperkenalkan dengan mobil van yang besar. Di dalamnya, berlimbah buku-buku mulai dari yang bergambar sampai tidak, dari yang tebal sampai tipis, dari yang menarik sampai yang tidak, semuanya ada. Ternyata, itu adalah salah satu program mahasiswa yang melakukan KKN di desa ini.
Angkasa hanya membawa pulang 1 buku mewarnai, sementara aku 5 buku yang kesemuanya adalah buku medis. Seandainya tidak ada batasan untuk meminjam buku, pastilah aku bawa pulang semuanya.
Sesampainya di kamar, aku berusaha mengerti setiap lembar buku medis yang tidak aku mengerti sama sekali. Aku berusaha sebisa mungkin, meskipun aku baru belajar mengeja. Baru beberapa lembar, perutku sudah dibuat mulas dengan semua kata aneh yang sulit untuk dibaca.
Keesokan harinya, Angkasa kembali menarik tanganku dan menghanyutkanku ke suatu tempat. Kali ini, bukan perpustakaan berjalan, tetapi seorang perempuan. Kali ini, Angkasa memperlihatkanku seorang dokter.
Wajahnya bening. Senyumnya tak redup-redup melayani puluhan keriput. Jilbabnya tebal, panjang menutupi dada. Tangan putih dan lembutnya menyembuhkan segala luka hanya dengan meraba. Mariah, itu adalah nama dokter itu. Nama yang akan selalu aku ingat selama hidupku.
Perempuan bernama Mariah itu berjubah putih seperti pendeta. Aku tidak pernah memergoki malaikat itu mengendurkan senyumnya sesenti pun. Tingginya tidak seberapa, sekitar 140 cm, tetapi tangannya halus dan hangat. Rambutnya tidak pernah terurai, selalu terikat di belakang seperti kedondong. Kacamatanya menambah pesonanya.
Aku dan Angkasa hanya dapat mengagumi kemampuannya dalam mengobati orang-orang tua di balai desa dari balik pagar. Dari sini, ukuran tubuh Dokter Mariah hanya sebesar jempol, tetapi aku dapat merasakan kesejukkan dalam dirinya. Entah mengapa, aku melihat secercah sayap putih di punggungnya. Aku dan Angkasa menjaga jarak karena terlalu takut untuk mendekat. Meskipun begitu, keahliannya, kemampuannya, kepeduliannya membuat mulut kami menganga. Dokter Mariah menjadi idola pertamaku.
Karena tidak mengerti ilmu dari buku, aku memutuskan untuk memata-matai dokter yang bernama Mariah itu. Keputusan ini didasari atas perkataan Bapak sewaktu hidup yaitu ilmu yang terbaik datang dari guru. Jadi, selama dia tinggal di desa, aku membuntutinya ke mana pun berharap pengetahuannya dapat menular kepadaku begitu saja. Akan tetapi, permainan ninja-ninjaanku berakhir. Kedokku terbongkar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.