Merpati, makhluk itu mengarungi angkasa dengan sayap putih dan sucinya seperti tak menghiraukan gravitasi yang membelenggu tubuhnya. Mata hitamnya menangkap laut rembang, gunung pencakar langit, dan hutan belantara yang belum terjamah tangan kotor manusia. Segala keindahan dunia pernah dilihatnya.
Suatu hari, awan hitam yang kekar terhampar di depan matanya. Tidak ada bumi untuk berpijak, hanya laut sunyi yang penuh teka-teki dan bayang-bayang akan kematian. Terpaksa unggas suci dan putih itu menerobos awan kelam dan renyuk itu dengan tubuh rentanya.
Guntur, kilat, dan lembab menghujat setiap sudut tubuhnya. Suasana seperti perang dengan petir sebagai peluru-pelurunya. Burung itu begitu tegar dan kokoh untuk mengalahkan halang rintang. Namun, badai yang tak berkesudahan melunturkan api semangat dalam hatinya.
Akhirnya, lelah dan putus asa meremas sayapnya dan membantingnya ke bumi. Unggas lambang cinta itu terkulai lemas dengan tangannya mengibarkan bendera putih kepada kematian. Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali menunggu dewa kematian mengambil nyawanya.
Tiba-tiba, sosok cahaya menjemputnya. Tangan lembut dan anggun merangkul tubuhnya seluruh. Dibawanya diri unggas itu ke suatu tempat yang dingin dan penuh penerangan; tidak ada gelap secuil pun.
Ketika sadar menepuk pundaknya, burung itu menemukan dirinya di sebuah ruang yang di atas pintu tertulis, "Doctor's Lounge". Datang dari pintu tersebut seorang wanita berkerudung, berparas jelita, dan bergamis putih. Wanita yang memperkenalkan dirinya dengan nama Kirana itu menyuapi repih-repih roti ke paruh unggas malang itu dengan anggunnya.
Roti itu sangat renyah, enak, dan melahirkan candu daripada biji-bijian yang setiap hari dimakannya. Tidak ada satu pun butir repih roti yang tersisa, semua dihabiskan unggas yang kelaparan itu, bahkan sampai butir sebesar mata jarum pun dijilatinya dengan saksama.
Kirana menghilang, sementara roti berukuran besar digeletakkan di meja, di seberang tempat burung berada. Sang burung mengambil ancang-ancang untuk lepas landas. Namun, unggas putih itu tak dapat menggapai tempat roti berada. Unggas itu jatuh, terperosok ke lembah. Baru burung itu menyadari sesuatu yang telah hilang dari dirinya, yaitu sayapnya. Merpati itu tak memiliki sayap lagi untuk terbang.
Bukannya terjerumus ke ngarai melankoli atau berkabung hati, merpati itu kukuh untuk menggapai roti. Tidak ada yang menghentikannya, meskipun kedua sayapnya meninggalkannya. Akhirnya, setelah perjuangan penat, merpati itu berhasil merangkul roti. Tanpa basi-basi, burung berparuh mungil itu melulur roti itu ke kerongkongannya.
Tidak ada kebahagiaan yang pernah dirasakannya selain melahap setiap senti roti itu. Kepuasan memamah roti tiada banding, melebihi keasikannya menjelajahi dunia atau mengarungi angkasa. Hidupnya terasa diwarnai bunga-bunga harum yang menghipnotis dirinya ke padang surga. Unggas itu tak pernah menyesal apa yang dialaminya, meskipun fakta bahwa dirinya tak dapat menjelajahi dunia atau mengarungi angkasa menghantui pikirannya.
Kirana kembali dengan sebuah sangkar hitam berbentuk tabung di tangannya. Burung malang itu disarangkan dalam kandang yang tingginya 75 cm dan diameternya 50 cm, ukiran gagak tampak jelas di puncak sangkar seperti gargoyle di gedung-gedung luar negeri.
"Aku akan memberimu nama Mentari," kata Kirana. "Sekarang kau aman, Mentari. Kau tidak perlu khawatir lagi tentang dunia luar."
"Kenapa kau membawa burung menjijikkan itu ke RSS?!" tanya Babi dengan nada membentak. "Nanti kotorannya bertebaran ke makanan!"
"Tenang, nanti akan kubawa pulang kalau sudah saatnya," kata Kirana santai. "Untuk sementara, aku menitipkannya di sini."
Aku menjalani kehidupan keduaku, bukan sebagai makhluk bersayap, tetapi sebagai perempuan yang mempunyai keluarga. Sepulangnya dari RSS, aku memadu kasih dengan Angkasa seperti ini adalah bulan madu kami. Tidak ada kata selain bahagia dalam hati dan pikiranku ketika bersama Angkasa di Tumpah Sari dan Luna di Rumah Sakit Sejahtera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.