Bab 20 : Meninggalkan Luka

28 4 0
                                    

Ambulans tak henti-hentinya berteriak panik karena di dalamnya tertidur seorang anak kecil yang sangat membutuhkan pertolongan medis. Mobil-mobil di depan ambulans pun menyingkir seperti laut yang terbelah oleh Nabi Musa. Lampu kuning pun ditembus ambulans.

Di antara rambu-rambu ambulans yang dilewati, terdapat baris mobil yang terbelenggu dalam macet. Di tiap-tiap mobil itu terisi orang-orang yang tangannya tersangkut di klakson. Amarah merubungi wajah-wajah mereka seperti lalat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut dan lidah mereka, kecuali sampah dan sumpah serapah.

Aku mengerti perasaan orang-orang yang terjebak macet itu. Namun, setiap lampu merah yang menghadang kami, nyawa Luna akan semakin dekat dengan sabit dewa kematian. Marah dan sumpah serapah tidak akan mempercepat roda-roda ambulans. Kurang lebih itulah yang dikatakan EMT yang bersamaku di ambulans.

Aku mulai meletakkan es batu di kepalaku dan menggantikan sampah yang keluar dari mulutku dengan bunga-bunga. Di telinga Luna, aku terus mengucapkan kalimat-kalimat penyanggah semangat agar dia tidak terbenam terlalu cepat. Gadis berusia 5 tahun itu pun membuka matanya. Ketika ucapan alhamdulillah mengalir deras dari mulutku, tiba-tiba, napasnya tersendat-sendat. Tekanan darahnya meningkat tajam. Mata yang terbuka, kini tertutup kembali.

Dengan kilat, aku mengerahkan seluruh neuron otakku untuk mendiagnosis Luna; mendekapkan stetoskop ke paru-parunya dan jantungnya. Akhirnya, dari semua itu, aku mendapat kesimpulan bahwa gumpalan darah Luna di kakinya adalah yang membuatnya seperti itu. Dengan segera, aku mengambil blood thinner, lalu menyuntikkannya ke lengannya. Gadis itu pun kembali bernapas dengan lega.

Setibanya di Rumah Sakit Sejahtera, aku panik sambil mendorong-dorong tandu beroda yang ditiduri oleh Luna. Paramedis dan aku bekerja sama untuk berteriak, "Semuanya minggir!" kepada siapa pun yang menghalangi jalan kami di lorong RSS. Seperti mobil-mobil di jalan raya, semua orang menyingkir layaknya lautan yang dibelah Musa.

"Bertahanlah Luna," kataku yang tak pernah lepas menggenggam erat tangan Luna. Namun, perlahan-lahan tanganku mengendur dan lepas begitu saja saat Luna memasuki ruangan gawat darurat. Hakim yang memisahkan ibu dan anak ini adalah seorang suster; dia melarangku untuk ke ruang gawat darurat.

"Anda tidak boleh masuk," kata suster.

"Aku dokter, juga ibunya!" balasku seraya memaksakan tubuhku untuk masuk ke ruang gawat darurat.

"Di sini kau hanya seorang ibu, bukan dokter. Kau tidak boleh masuk ke sana," kata Selasa yang tiba-tiba hadir di belakangku.

Kepala yang berkompor-kompor dingin kembali saat aku menemukan bangku. Di sana, aku mencuri napas sepanjang dan sepuas mungkin saat Luna entah diapakan oleh mereka.

Di tengah kesedihanku, Selasa membelai punggungku dan bertanya, "Apa yang terjadi kepadanya?"

Aku pun menceritakan kisahku kepadanya. Semua, mulai dari Luna hampir jatuh dari atap sampai Luna ditemukan dalam sumur. Aku membuka mulutku terlalu lebar dan panjang, aku bahkan ragu adikku itu meminjamkan telinganya saat itu.

Aku meluapkan segala kisahku tanpa jeda bukan agar Selasa mendapat sejarah yang tepat untuk pasien di rumah sakitnya, melainkan karena aku ingin mencurahkan hatiku kepada seseorang yang dapat kupercaya. Dengan demikian, beban di hatiku jauh lebih ringan dari sebelumnya.

Selasa melangkah mundur karena tumpukan tugas mulai memanggil-manggil namanya. Sesekali aku mengintip ruang operasi untuk memastikan kesehatan Luna. Luna tidak mengalami trauma yang serius. Sepertinya, para dokter hanya merekatkan tulangnya, lalu menutupnya seperti sediakala.

Kesedihanku terkikis saat seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat dan memberitahukanku bahwa Luna sudah stabil. Akhirnya, setelah 3 jam, seorang ibu boleh menjumpai anak perempuannya lagi.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang