Bab 28 : Malam Buta

21 2 0
                                    

Dengan tidak adanya mata kecurigaan, aku menduga Babi, Serigala, dan Kucing tahu bahwa organ yang kudapat adalah hasil dari curian. Ini membuatku tenang sekaligus resah karena aku tahu aku duduk di antara orang-orang yang menutup mata mereka demi keuntungan dan keselamatan sendiri.

"Membuang-buang waktu. Aku mempunyai ratusan pasien yang membutuhkan perhatian medis lebih dari anakmu," ejek Babi tak perperasaan.

Aku mengepal tanganku dan bersiap-siap untuk meledak, tetapi tidak ada satu pun tinju yang melayang ke wajah Babi yang mengesalkan. Tiba-tiba, Serigala membanting Gray's Anatomy karangan Henry Gray. Kemudian, pria menjengkelkan yang pincang itu mengambil papan tulis putih dan sebuah spidol.

"Tidak ada kaki yang keluar dari ruangan ini sebelum ada penyakit baru yang menyembur dari kepala kalian," kata Serigala. "Lebih dari 40 jam semenjak simtom pertama hadir. Penyakit ini berpengaruh kepada streptomycin dan doxycycline. Tes darah baru saja keluar dan menyatakan negatif untuk tularemia. Begitu pula dengan PCR. Jadi, selain tidak bisa merasakan pedihnya jarum suntik, infeksi macam apa yang menyebabkan demam, gagal organ, pusing, mulas, dispnea, letargi, dan jumlah sel darah putih yang melimpah? Ada pemikiran?" tanya Serigala sambil menulis simtom Luna dalam papan tulis kecil.

"Ini tidak mungkin dengan hanya simtom itu saja," kata Babi. "Ini bisa membawa kita tidak menentu arah. Ini seperti menebak warna lampu dari jarak 100 meter, yang berlawanan arah, dengan cermin. Ini bisa apa saja."

"Yah, jika saja aku mempunyai teleskop, aku bisa melihat warna lampu itu. Sayangnya, satu idiot merusak teleskop itu. Satu-satunya teleskop yang berfungsi jaraknya lebih dari 100 km," kata Serigala menjelaskan MRI yang rusak di RSS.

"Kita fokus dulu. Kita belum mengeliminasikan bakteri, jamur, parasit, dan autoimun. Ada ide baru?" tanyaku dengan menulis kemungkinan terdakwa di papan tulis yang sebelumnya ditulis oleh Serigala.

"Kenapa susah-susah berpikir?" tanya Kucing merebahkan kepalanya. "Kita hanya perlu menunggu kultur mikrobiologi keluar dari lab. Dengan begitu kita tahu hasilnya tanpa memeras otak kita seperti ini."

"Aku takut hasil tes itu keluar setelah putriku meregang nyawa. Lagi pula, seraya menunggu kita dapat mencoba segala cara untuk menyelamatkannya," kataku semangat.

"Dia benar. Orang-orang lab tidak peduli dengan anak itu, atau lebih buruk lagi tes yang akan keluar nanti tidak akan berkata apa-apa. Dia mungkin sudah masuk ke liang kubur sebelum tes keluar," bela Serigala. "Aku benci ketika itu terjadi. Aku benci kehilangan sesuatu sebelum mengetahuinya. Aku benci saat membedah anak itu di ruang autopsi dan berkata, 'Jika saja aku mengetahui penyakit ini lebih awal dan memberikannya obat yang tepat'."

"Kau tidak peduli dengan anak itu. Kau tidak pernah peduli. Kau hanya melihat anak itu sebagai teka-teki," kata Babi seringai. "Kau hanya ingin memecahkan ini dengan pikiranmu sendiri."

"Ah, iya, aku lupa kita sedang siaran sinetron yang berjudul 'Berdebat dengan Bos Doktermu hingga Pasiennya Mati', bukannya sedang di rumah sakit menyembuhkan orang," ejek Serigala. "Aku masih duduk di singgah raja, di ruangan ini. Suka atau tidak, kau harus tunduk kepadaku. Kau tidak bisa menendangku keluar."

Di sanalah aku, mendengarkan semua argumentasi mereka tanpa ada yang mencoba mengemukakan ide. Baru setelah aku mengeluarkan kode, mereka memuntahkan ide-ide cemerlang mereka. Babi kukuh dengan pendiriannya bahwa yang diderita Luna adalah kanker paru-paru—mungkin karena dia seorang onkolog. Kucing mengajukan sarkaidosis, tetapi langsung ditentang oleh semua dokter karena tidak ditemukan granuloma di paru-parunya saat x-ray. Sementara, aku melempar streptokokus ke meja debat, tetapi ditentang karena hasil PCR negatif bakteri ini. Aku juga mengajukan infeksi jamur dengan dasar Luna memakan apa saja saat terjatuh ke dasar sumur.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang