Bab 26 : Melihat dengan Sebelah Mata

22 3 0
                                    


Aku mencoba memejamkan mata dan melupakan yang telah terjadi, tetapi ingatan itu terus menghantuiku. Wajah pemuda yang aku tidak tahu namanya itu terus membayangiku dengan darah dan dagingnya. Aku merasa seperti terikat dengan rantai dan tenggelam dalam danau tak berdasar. Ketika ingin mencoba mencari pertolongan di permukaan danau, rasa takut akan buaya dan hiu menghantuiku setiap saat.

Kuhabiskan waktuku dengan mengucap astaghfirullah beribu-ribu kali dengan jariku sebagai tasbihnya. Namun, bayang-bayang penyesalan dan dosa terus menusuk-nusukkan mataku. Aku tetap berpikir, tak dapat mengejapkan mata. Kelopak mataku terasa dibuka paksa oleh perekat kasatmata. Setiap sudut, aku merasa seperti ada orang yang mengintaiku, mungkin nyawa pemuda yang "kubongkar" yang masih gentayangan.

Efek bergadang dan malam yang sunyi memberikanku pendengaran super. Telingaku menangkap segala suara dari segala sumber. Tetes air dari bak mandi di lantai bawah yang jaraknya lebih dari 5 meter terdengar seperti fatman yang meluluhlantakkan Jepang. Konser merdu jangkrik di luar seperti konser metal yang super brutal. Bahkan, tetes air mata anak laba-laba di sudut ruangan tertangkap oleh telingaku.

Anak binatang berkaki banyak itu sedih karena ibunya tega membunuh dan memakan lalat yang menjadi sahabatnya di depan matanya sendiri. Yang lebih keji lagi, ibu serangga yang mengeluarkan jaring dari bokongnya itu tak segan-segan menawari mayat lalat itu kepada anaknya.

Kesadaran akan dirinya yang lapar membuat anak laba-laba itu mempertemukan sahabatnya dengan asam lambung. Anak serangga perayap dinding itu menelan sahabatnya hingga tak tersisa. Untuk sementara, anak laba-laba itu puas dengan perutnya yang terisi, tetapi dalam jangka panjang hatinya pasti akan tercincang-cincang oleh rasa penyesalan.

Matahari pun menyapaku yang belum mencicipi mimpi. Malam benar-benar memukulku sehingga meninggalkan lebam hitam di bawah bola mataku. Ini bukan kali pertamaku tak bisa menikmati mimpi, sebagai dokter, pasien-pasienku kadang mengikatkan rantai yang kuat di kakiku. Kadang pula pasienku yang tak selamat membawa kantukku bersamanya ke kuburan. Akan tetapi, terjaga karena melangkah ke jalan gelap adalah kali pertamaku.

Sungguh ironi yang kejam di mana seorang dokter ikut campur dalam menghilangkan nyawa seseorang. Aku seperti seorang polisi yang melakukan pembunuhan masal atau menyelundupkan narkoba kelas berat. Apakah Tuhan ada? Ataukah Dia suka memberikanku ironi kehidupan?

Sayap putih yang kudapat selama hidupku menjelma abu-abu kelam. Perlahan-lahan, sayap ini akan hitam atau bahkan rontok seperti daun angsana di awal musim. Aku tidak dapat membayangkan diriku tanpa sayap ini.

Setiap berjalan, setiap menggerakkan badan, setiap berhadapan dengan cermin, aku bingung; tidak mengerti siapa diriku sebenarnya. Ketika aku menatap cermin, aku bertanya kepada diriku sendiri, siapa dia yang aku tatap? Penyelamat? Atau pembunuh? Atau keduanya sekaligus? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin untuk aku jawab sekarang. Sudah terlambat; aku sudah melangkah menuju jalan gelap di mana tidak ada jalan kembali.

Mataku sampai kering dan merah sehingga aku harus merendam mereka selama satu jam untuk mereka normal kembali. Tiba-tiba, Angkasa memelukku dari belakang. Seorang suami yang baik tak perlu waktu banyak untuk menyadari hal yang salah dari istrinya. Angkasa membuatku tidak menatap diriku sendiri dalam cermin. Angkasa senantiasa mengerti dan mencoba mengeluarkanku dari kegelapan ini. Angkasa adalah satu-satunya orang yang aku percaya saat ini. Aku pun tanpa ragu berkata, "Aku membunuh pria tadi malam."

"Apa kau juga mengeluarkan organ tubuhnya?" tanya Angkasa bercanda; mungkin dia menganggap ini adalah salah satu pasien yang gagal kuselamatkan.

"Yah, aku membedahnya dan mengambilnya. Aku telah membunuh pemuda itu," kataku memasang mata kosong.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang