Bab 8 : Hujan dan Angkasa

44 3 0
                                    

Banyak "pelanggan" yang kurawat tidak mencapai kesembuhan. Mereka hidup menderita dalam kesakitan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjumpai ajal. Salah satunya adalah Indah Fauziah. Perempuan dengan tinggi 170 cm ini adalah model yang lumayan terkenal, bahkan pernah dinobatkan sebagai putri Solo. Kariernya melejit bagaikan roket saat mencapai usia 18 tahun. Kecantikan, kesempurnaan, dan kepintaran yang sempurna adalah kata-kata yang dideskripsikan orang saat mendengar nama Indah Fauziah.

Akan tetapi, tiba-tiba, kulit Indah terlepas dari tubuhnya seperti ular yang sedang berganti kulit. Perlahan-lahan, Indah membusuk, kecantikannya luluh, dan teman-temannya menjauh satu per satu. Kasusnya yang idiopatik—tidak diketahui penyebabnya—membuat para dokter kewalahan. Jadi, aku hanya dapat menonton perempuan cantik itu jatuh secara mengenaskan.

Akhirnya, Indah menemui ajalnya. Dia meninggal di genggaman tanganku. Namun, aku tidak merasa simpati kepadanya. Aku tak sedih sedikit pun saat perempuan sempurna ini merenggang nyawa. Mungkin karena seringnya melihat kematian, kepergian Indah bagaikan daun yang jatuh di pekarangan.

Tidak butuh waktu lama untukku melupakan nama dan penderitaan Indah Fauziah. Akan tetapi, Ibu berbeda dengan Indah Fauziah dan daun-daun lainnya. Aku tidak pernah dapat menghilangkan kematian Ibu. Nama, penderitaan, dan kematiannya selalu berputar-putar di atas kepalaku. Kepergian Ibu bagaikan kepergian seribu bahkan jutaan Indah Fauziah.

Ibu pernah berkata bahwa dokter ada karena pasien seperti matahari yang terang benderang karena angkasa yang gelap. Kami seperti matahari yang hangat dan memberikan kehidupan untuk makhluk hidup. Namun, entah kenapa, cahaya dalam diriku terasa padam. Penyesalan-penyesalan karena tidak dapat menolong Ibu melahap semua api dalam diriku. Aku telah gagal. Bukan saja sebagai dokter, juga sebagai anak dan manusia. Aku tidak dapat meraih tangan Ibu yang terhisap pasir keputusasaan itu, meskipun aku tahu, dia sedang tenggelam.

Tidak berguna kupunya sayap. Tidak berguna juga semua buku dan guru yang kujumpa. Untuk apa semua tahun-tahun yang kulewati untuk belajar, jika aku tidak dapat menyelamatkan satu orang yang kucinta.

Aku mengambil cuti tiga hari untuk mengembalikkan diri. Rumah sepertinya bukanlah tempat yang tepat untuk melampiaskan kesedihanku. Di rumah kenangan ini, setiap tempatku bersandar, pasti kuingat Ibu. Kebunnya, tempat kami menanam lidah buaya bersama. Tangganya, tempatku jatuh dan Ibu panik bukan main. Sisa-sisa kenangan masih melekat di dinding-dinding yang kucoret-coret dengan krayon dahulu.

Jika tetap di istana kenangan ini, aku tidak akan pernah menghilangkan penat di dada. Aku pun beranjak ke tempat satu-satunya hatiku berlabuh sekaligus tempat di mana Ibu meregang nyawa, Rumah Sakit Sejahterah. Rumah sakit masih merangkak dengan rodanya meskipun terseok-seok, meskipun hujan masih mengguyur rumah sakit kecil ini.

Rintik-rintik langit menderas di luar rumah sakit. Dingin yang dibawanya meresap hingga ke relung hati setiap orang. Angin, sahabatnya, menerpa payung-payung manusia yang mengemis tawa. Cahaya tak tampak dari awan-awan hitam yang menggumpal di langit yang tinggi. Tiada ada satu pun orang yang lepas dari tetes-tetes hujan yang merebak.

Ronggur, pegawai kasir yang sering mengobrol dengan Ibu, seperti menahan air mata di wajahnya. Komar, lelaki paruh baya pemegang pel yang anaknya pernah digratiskan biaya rumah sakitnya oleh Ibu, mengumbar sedu. Kesedihan masih tergambar di mata orang-orang. Semua orang yang pernah mengenal Ibu berada di bawah awan mendung yang sama denganku. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana suami dan anak kandungnya meneduhkan diri dari hujan deras ini.

Duka dan lara, itulah yang kutemukan dari balik tirai di klinik. Wajah menunduk, mata penuh kedukaan, dan jerit tangis dalam hati yang tak terdengar oleh telinga biasa. Muhammad, suami Ibu sekaligus ayahku, adalah sosok pria yang sedang patah hati ini. Saat kakiku melangkah ke dalam tirai untuk mengungkap keberadaanku, kesedihan Ayah hilang mendadak dan senyuman mekar dengan kilatnya.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang