Bab 3 : Keluarga Baru

79 7 0
                                    

Cahaya itu seperti cahaya surga yang sudah siap menjemputku. Pupil mataku semakin merambak, begitu juga dengan cahaya misterius itu. Kilauan itu membutakan mataku. Aku tidak mampu mengerling rumput yang bergoyang, pohon yang melambai, impianku, serta masa depanku. Aku tidak dapat mengangkat satu jari pun. Aku tidak bisa lari dari cahaya yang menjemputku itu. Aku tenggelam dalam kebingungan sesaat.

Tiba-tiba, cahaya terang itu menikung ke sanding. Bongkahan besi dari arah yang berlawan dengan cahaya itu menampar kepala dan bahuku. Aku bergelindingan bagai tabung di jurang lalu tersungkur di lumpur. Tubuhku terasa hancur, remuk tak berbentuk. Aku tak dapat bangun dari rebahku dan dadaku terasa dihimpit oleh dua gunung.

Selagi aku berjuang untuk bangkit, aku menemukan kebenaran atas kejadian ini. Ternyata itu mobil sedan. Mobil hitam yang elegan itu menghantam pohon sehingga bagian mukanya berasap. Pintu mobil terbuka. Seorang wanita yang menjadi pelaku utama kejadian ini pun terungkap. Dia adalah Mariah, dokter yang pernah aku temui di desa sebelah sebelumnya.

Mariah menemukanku yang terbaring meremas-remas dada dan berusaha menggapai seembus udara. Dia langsung mengambil langkah seribu dan menyelami tubuhku. Dia meraba-raba bibirku, leherku, dan mendekapkan telinganya ke dadaku. Sambil menggeledah bajunya, dia berkata, "Bibirmu membiru, itu sianosis, yang artinya oksigen dalam darahmu berkurang. Paru-paru kananmu sepertinya mengempis, pneumotoraks. Paru-parumu seperti kertas yang diremas-remas."

Mariah pergi ke dalam mobil dan datang kembali dengan menjinjing jarum suntik. Dia berkata, "Aku akan menusukkan jarumku ini ke dadamu untuk mengeluarkan udara yang mendesak paru-parumu."

Tanpa ragu, Mariah menikamkan jarum suntiknya di sebelah kanan dadaku; di antara tulang iga, kemudian mencabut pompa jarum suntik itu atau yang biasa disebut plunger. Udara pun keluar dari jarum suntik. Dadaku semakin tidak sesak dan napasku kembali seperti semula.

Selagi udara berembus dari jarum suntik, Mariah berceramah, "Teoriku adalah kau mendapat hantaman di sekitar dadamu. Serangan fisik seperti mobilku dapat membuat paru-parumu runtuh. Paru-parumu menjadi berlubang. Dari lubang itu keluar udara yang mengisi rongga luar paru-paru. Tekanan udara membuat paru-parumu tidak bisa memompa...."

Pengang menghalang suara merdunya. Sekilas, aku melihat wajahnya yang penuh cahaya, tidak ternoda, seolah matahari terbit dari sana. Dari punggungnya, sayap putih membentang lebar. Bulu-bulunya bertaburan di udara dan menjelma lentera. Dia adalah malaikat sejati.

"Tidak. Aku tidak apa-apa."

"Kaki dan tanganmu patah. Kepalamu berdarah." Mariah menilik tubuhku dengan teliti. "Apa kau tidak merasakannya?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Bertahanlah," kata Mariah. "Aku akan membawamu ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Aku membiarkan Mariah memapah tubuhku dan mendudukkanku di tempat duduk mobilnya. Sepertinya Mariah lupa pernah bertemu denganku. Aku dan Mariah menggelar obrolan kecil selama perjalanan. Bla, bla, bla, dan lebih banyak bla hingga akhirnya aku sampai pada dua pertanyaan penting, "Apa benar kau tidak dapat merasakan sakit?" dan "Di mana orang tuamu?" Aku menjawab pertanyaan pertama dengan jawaban sederhana, yaitu aku tidak dapat merasakan sakit, jawaban yang sama untuk orang yang mengajukan pertanyaan yang sama. Untuk pertanyaan kedua, aku menjawab dengan jujur bahwa aku kehilangan orang tuaku, tetapi aku menghilangkan kebenaran tentang keberadaan bibiku dan menambahkan bawang sebagai bumbu ceritaku. Aku melakukan ini agar mendapat simpati dan mungkin banyak hal seperti rumah, orang tua, dan ilmu. Dia mungkin juga dapat memberikan sayap kepadaku.

Mariah menggiringku ke Rumah Sakit Sejahtera. Sebuah rumah sakit kecil yang lebih mirip puskesmas, yang berdiri di antara kekumuhan rumah dan rindang perkebunan. Cat dindingnya rontok. Rumput halamannya menjalar liar. Pohon beringin membayangi halaman depan sekaligus tempat parkir yang hanya mampu menampung 15 motor dan 5 mobil. Akan tetapi, di atas kesederhanaannya, tidak tercium bau kematian rumah sakit ini, lebih berbau harmonis.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang