Bab 35 : Melipat Kertas sampai 42 Kali

19 3 0
                                    

Pohon-pohon berlari dengan kencangnya di mata Luna. Begitu pun dengan rumah, tiang listrik, dan orang-orang. Segala yang di luar kaca mobil tampak melaju berlawanan dengannya, kecuali kupu-kupu yang hinggap di kaca luar.

Serangga bersayap warna-warni itu sedang membuang penat di mobil ketika benda itu diam tak beringsut. Tiba-tiba, benda hitam raksasa itu bergerak sangat cepat, sehingga serangga cantik yang berasal dari ulat menjijikkan itu tak dapat mengembangkan sayapnya untuk terbang. Kupu-kupu itu terjebak momentum mobil.

"Dengarkan, sekarang, jika ada yang bertanya namamu. Jangan sebut nama aslimu," kata Selasa. "Sekarang namamu Dewi, mengerti?"

"Tidak, mengapa halus Dewi?" tanya Luna. "Dewi siapa?"

"Dewi Sekartaji," kata Selasa. "Sekarang diam." Selasa membentak Luna. "Kamu akan tinggal sementara di rumah Bibi. Jangan pernah menghubungi ibumu atau orang lain yang kamu kenal. Jangan berhubungan dengan orang lain. Jangan pernah lari dari sini."

Ketika Selasa menyelesaikan kalimatnya, mereka sampai ke rumah Selasa yang dahulu dihuni oleh aku dan Mariah serta Muhammad. Kata "penjara" mungkin yang paling mendeskripsikan rumah yang dahulu menawan itu sebab di atap tembok yang mendinding tinggi tersemat paku-paku dan kawat-kawat berduri. Gerbang depan yang dahulu selalu terbuka kini dilengkapi 3 kunci.

Awan-awan cerah terlukis di langit atas, tetapi setelah memasuki pekarangan rumah bibinya, Luna hanya merasakan mendung yang menggigilkan jiwa. Anak kecil itu tahu dirinya di dalam bui yang akan mengekang raganya.

Kupu-kupu yang ikut menumpang di mobil Selasa kini merdeka dari kaca mobil setelah Luna membuka pintu. Serangga itu bebas. Namun, serangga yang berbelalai seperti gajah itu terkekang setelah Selasa menutup pintu mobil dengan kupu-kupu itu di dalam mobil. Tidak ada celah atau jalan keluar dari mobil Selasa, hanya bingkai-bingkai kebebasan yang tergambar di kaca mobil.

Luna yang menangkap kemalangan kupu-kupu itu tak mampu berbuat banyak karena bibinya menggiringnya paksa masuk ke dalam rumah. Kemudian, Selasa melemparnya sepotong baju dan celana kotor untuk menggantikan pakaian pasien serta menyeretnya ke kamar paling atas rumah tersebut. Kamar yang dahulu ditempati aku kini hangat dengan kehadiran Luna.

Selasa memberikan tiket kebebasan kepada Luna hanya untuk di dalam rumah. Luna bebas liar menjelajahi rumahnya tanpa ada perasaan terkekang. Namun, Luna melanggar peraturan tak tertulis yang ditetapkan Selasa, yaitu mengangkat telepon dan menghubungiku.

Selasa segera mengambil alih telepon dan berbohong kepadaku selagi mulut Luna dibekapnya. Tidak ada ramah yang terpampang di wajah Selasa, hanya gusar dan geram. Saat itulah Luna tahu dirinya tidak akan lagi merasakan kemerdekaannya.

Bibinya menggelandang Luna ke kamarnya. Sebelum mengunci pintunya rapat-rapat, Selasa berkata, "Jika kau berani melakukan hal seperti tadi lagi, kau tidak akan pernah melihat matahari lagi."

Luna kini seperti Rapunzel yang menunggu pangerannya di puncak kastil.

---------------------------oOo---------------------------

Seekor anjing tak akan pernah melengkungkan pedang. Binatang yang patuh dengan tuannya dan tak pernah membantah itu tak akan menemukan pedang yang dihadapinya membekuk, meskipun pedang itu sudah tumpul tak beruncing.

"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan," ujar Pedang meludahkan darah beserta giginya dari mulutnya.

"Biarkan aku mengulangi pertanyaanku," kata Mad Dog memangku dagu. "Mengapa kau membunuh pria itu? Dan apa hubunganmu dengan pencurian mayat di Desa Tumpah Sari?!" Mad Dog melipat kaos dalamnya ke tangan dan menghantamkannya ke wajah Pedang yang sudah berona merah.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang