Kaki-kaki Luna menghentakkan bumi hingga gempa menggelegar di udara. Lentera-lentera tempel sisa-sisa kejayaan malam bergeming dengan api yang menari di dalamnya. Gempa itu begitu dasyat hingga membangunkan tikus-tikus yang terlelap dalam lemari yang berlubang karena rayap.
Hewan pengerat itu tidak mempunyai pilihan selain membuka matanya, meskipun hutang tidur belum lunas. Mata prematur binatang berbulu itu belum siap menghadapi cahaya pagi setelah bergadang mencari mangsa.
Tidak lama kemudian, gempa yang membangunkan tikus tersebut sampai ke kamarku. Dengan kekuatan mahadasyatnya, gempa itu menciptakan tsunami yang menyeret-nyeret selimutku dari tubuhku hingga tubuhku tersibak jelas. Aku pun tidak mempunyai alasan selain membuka mata.
Jika dipikir-pikir, RSS dan rumah sama saja. Jika di RSS pelakunya Bintang, sementara di rumah pelakunya adalah Luna yang baru berumur 4 tahun. Alasan gadis kecil itu selalu sama, yaitu takut ke kamar mandi pagi-pagi. Katanya, dia selalu menemukan bayangan aneh dari balik jamban yang kotor. Akan tetapi, pagi ini, gadis berambut panjang ini bukan ingin membuang air besar, melainkan menagih janjiku untuk menggendongnya ke RSS.
Aku pun tidak mempunyai pilihan selain menggoncenginya dengan sepedaku. Sepeda ini, sepeda pemberian suamiku, tetap sama dan tak berganti rupa. Mengganti sepeda ini sama saja menceraikan kebahagiaan suamiku. Meskipun uangku berlimpah dan rokku sering tersangkut di gerigi sepeda, tidak pernah terbesit dalam otakku untuk duduk di pangku sepeda yang lain.
Ini bukan pertama kali Luna ke RSS. Jadi, tidak ada kagum yang terpancar di wajahnya saat memasuki aula RSS. Di tempat yang terdapat tumpukan orang sakit ini, Luna biasanya bermain petak umpet dengan anak-anak penderita kanker di bagian pediatrik. Selain itu, dia bisa menjumpai musuh lamanya, Mr. Black.
Kucing hitam itu kini selalu menginap di RSS karena Selasa malas untuk memberikannya makan setiap hari. Jadi, kucing "penjembatan kematian" ini dibiarkan berkeliaran bebas dan meramal setiap pasien yang divonis sekarat.
Tiba-tiba, mata Mr. Black dan Luna bertembung di aula RSS. Untuk sejenak, mereka berdua seperti cowboy di tengah lahan tandus. Mata mereka sangat tajam menusuk satu sama lain dengan jari yang bersedia di pistol untuk ditembakkan.
Tidak ada satu jari pun yang bergerak saat mata mereka terhubung dengan benang kebencian. Saat menara jam di belakang mereka berdentang, tangan-tangan mereka pun bergerak secepat kilat untuk membunuh satu sama lain. Akan tetapi, Mr. Black kehabisan peluru dan kabur terbirit-birit menuju matahari senja.
Sementara Luna bermain kejar-kejaran dengan Mr. Black, aku mengunjungi kedua pasienku yang sedang sekarat, Pertiwi dan Adam. Keadaan mereka berdua jauh dari kata "tertolong". Bukan karena penyakit mereka, tetapi karena kegagalan liver mereka.
Kulit dan mata Pertiwi kuning seperti emas. Bibir bagian dalamnya juga mengeluarkan cairan kuning. Keadaan ini disebut jaundice, sistem SOS yang digunakan liver untuk meneriakkan rasa sakitnya. Sama halnya dengan Pertiwi, Adam pun berubah menjadi pisang. Akan tetapi, Adam berbeda dengan Pertiwi. Pria berpendidikan itu mengalami gatal luar biasa di kaki kanannya. Saking gatalnya, pria setengah Belanda ini menggaruk-garuk kakinya hingga kulitnya rontok.
Keadaan Pertiwi dan Adam begitu parah hingga Mr. Black tidak ragu untuk tidur di kasur mereka secara bergantian. Yang paling menyedihkan lagi, para pemilik sayap tak dapat menolong keduanya. Mereka pun hanya dapat menyaksikan keduanya jatuh dari langit yang mendung. Pertiwi dan Adam jatuh dari genggaman mereka. Akan tetapi, aku berbeda; aku tetap memacu sayapku untuk mencapai tangan Pertiwi dan Adam sekaligus dan mencegah mereka mencium tanah sebelum waktunya.
Aku berusaha bermain tarik tambang dengan dewa kematian, dengan talinya adalah nyawa Pertiwi dan Adam. Jari-jariku patah dan berdarah dalam pergulatan ini. Kedua tanganku tergores-gores hingga meneteskan darah. Akan tetapi, aku masih kalah jauh dengan dewa kematian yang dibantu oleh keputusasaan dan keinginan mati Pertiwi dan Adam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.