Bab 11 : Semesta

42 4 0
                                    

Cahaya yang membakar terbebas dari rumahnya, matahari. Partikel-partikel panas itu menembus ruang kosong angkasa. Lebih dari 140 juta kilometer ditempuhnya, menerobos tebalnya atmosfir, melewati jendela kamarku. Gelombang putih itu menyiram wajahku, meninggalkan bayangan mimpi di belakangnya.

Bukan matahari saja yang berperan membunuh mimpiku, melainkan juga ketuk riang para tetangga di dalam rumah. Semenjak Bibi menyewakan tempat ini, kesunyian dan ketenangan punah dari lahan tempat aku dibesarkan ini. Kamar tempat Ibu menyusuiku disemayami oleh seorang janda beranak tiga yang masih rawit-rawit. Seorang pedagang pangsit berpenampilan preman menghuni kamar Ayah. Ruang kosong yang dahulu gudang diisi oleh jamu-jamu milik idola desa.

Tidak pernah ada ketenteraman yang singgah di rumah sempit ini. Telingaku membengkak dengan semua kepengangan yang melanda. Setiap pagi, anak-anak janda selalu berpetak umpet di sudut-sudut rumah. Ditambah lagi rayuan gombal pedagang pangsit tak habis-habisnya dilayangkan kepada tukang jamu bertubuh montok itu.

Kantung kembar di bawah mataku kian mengkelam. Beratnya semakin bertambah ketika aku menunggu giliran untuk mandi. Usaha menendang kantuk dari wajahku disemangati oleh nyanyian tukang jamu di dalam kakus satu-satunya di gubuk sederhana ini. Suara merdunya membuat tiga orang yang mengantre karam dalam kebosanan.

Nyanyian tukang jamu meretaskan telur-telur larva di balik atap kayu. Bayi-bayi yang baru menyapa dunia itu menggeliat hingga ke ujung atap dan jatuh ke dalam gayung kakus. Tukang jamu yang menyadarinya, langsung menyiram makhluk malang itu ke pipa yang menggiringnya ke comberan. Binatang melata tanpa tangan itu menemukan dirinya di tempat lembab yang mencekik leher, gelap serta penuh tahi. Namun, tempat itu biasa saja untuknya yang seorang larva menjijikkan yang lahir di tempat kotor. Dia pun mengguyur dirinya dengan air comberan yang tercemar.

Yang untuk umum hanya gayung dan air dalam kakus yang ukurannya 1 x 1 x 2 meter itu. Sabun, sikat gigi, dan sampo harus dimiliki perseorangan. Airnya kelam. Semua tempat yang bersentuhan dengan air tidak luput dari lumut. Tidak ada lampu minyak di sana, hanya lubang besar di mana sinar matahari dapat mengintip.

Setelah mengguyur sisa-sisa kantuk di badan, aku segera berjubah rapi dan terbang jauh ke belakang rumah. Aku bukan ingin bertugas sebagai dokter pada hari yang cerah ini, bukan juga membalut luka warga desa, aku akan menemui orang yang paling berharga dalam hidupku.

Melewati air terjun, merendam kaki dalam sungai, dijambak semak-semak, akhirnya, aku dapat melihat mereka lagi. Keduanya begitu tenang dalam tidurnya. Tidak ada yang mengusik mereka di balik tanah merah setebal 2 meter berambutkan rumput itu. Aku dapat memastikan ketenteraman keduanya dari halusnya batu nisan mereka. Nisan yang bertuliskan Sugito dan Minah itu tidak bercoret-coret, sama seperti terakhir aku melihatnya.

"Ayah, Ibu, Kirana pulang," kataku.

Tanpa beban, aku bersila di tanah kotor, di antara dua gundukan tanah. Rindu yang kutahan-tahan di dada terembus dengan tanganku menjamah mereka. Kisah-kisah semenjak mereka menutup mata mengisi sunyi di tanah lapang ini. Perjalananku mencapai sayap yang tidak mereka saksikan adalah klimaks dari dongeng yang tidak mereka dengar. Akan tetapi, aku tetap mengumbar ceritaku dengan harapan mereka yang sudah di alam yang berbeda dapat berbangga hati. Aku berharap mereka dapat tersenyum lebar saat mengetahui anak satu-satunya mempunyai sayap lebar untuk terbang ke langit lepas.

Tidak terasa pamit memisahkan pertemuanku dengan mereka. Kebangkitanku mengejutkan merpati yang kesepian di sebelah. Unggas yang menjadi lambang cinta itu melambung, meninggi ke angkasa. Tidak ada yang dapat menghanguskan sayapnya, meskipun matahari menyengat panas dan tahu tidak ada satu pun keluarganya yang menontonnya. Makhluk bebas itu terus terbang mengarungi langit.

Di perjalanan, aku mendengar derap resah seseorang di belakangku. Dia adalah seorang petani tua. Caping gunung menggantung di lehernya karena angin menghempasnya saat dikejar-kejar waktu. Dengan terengah-engah, petani tua itu merukuk di hadapanku. Bungkuknya semakin sirna berbarengan dengan napas wajarnya.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang