Bab 19 : Gerhana Bulan

30 2 0
                                    

Gelap, hitam yang hanya dilihat matahari saat bumi membentengi bulan dari sinarnya. Semua kelam pekat di atas angkasa. Namun, matahari tak pernah sekali pun berpikir untuk memisahkan bumi dan bulan

Garis itu terus melurus hingga tidak ada miring atau lengkung sehingga bumi, matahari, dan bulan sejajar. Bulan mungil tak dapat menatap matahari pada hari itu. Begitu juga dengan matahari yang tak dapat memancarkan keceriaannya kepada sang rembulan. Bumi menengahi bulan dan matahari seperti sedang menceraikan mereka yang sejak dahulu bersama. Bumi seakan-akan merampas bulan dari rangkulan hangat matahari untuk dijadikan kekasih seumur hidupnya. Karena keegoisan bumi, gerhana bulan pun terjadi.

Dari planet yang diisi lebih dari 70 % permukaannya oleh air itu, bulan tampak seperti dimakan oleh raksasa sebesar planet yang mampu mencerna satelit bumi satu-satunya itu. Anak-anak kecil mungkin akan berpikir seperti ini, termasuk Luna yang sedang menyaksikan secara langsung gerhana bulan dengan matanya sendiri.

Gadis yang sekarang berumur 5 tahun ini berjingkrak-jingkrak kegirangan di atas atap rumah karena menonton salah satu kejadian alam yang langka untuk pertama kalinya. Bahkan, karena tidak bisa menahan diri, gadis super agresif itu hampir terperosot.

Sendalnya yang tak sempat meraih apa pun ditarik oleh gravitasi. Benda yang terbuat dari karet itu sejenak melayang-layang di udara bersama geting-genting yang turut gugur bersama sendal itu. Genting dan sendal saling berlomba untuk mencium tanah yang jaraknya lebih dari 7 meter. Karena profesionalitas, genting mencapai tanah sebelum sendal. Benda yang terbuat dari tanah liat itu pun pecah berantakan, sementara sendal yang terbuat dari karet tidak mengalami demikian.

Luna tak bernasib sama dengan genting. Gadis itu tidak sendirian di atas atap; Terra menggapai tangannya sebelum mencapai ujung atap. Luna terlihat rentan bagaikan jemuran yang akan tersapu oleh angin.

Aku yang mendengar pecahan genting segera keluar rumah. Di sana, mataku dikejutkan dengan Luna yang bergelantungan di ujung atap. Aku berteriak kesetanan. Beruntung tangan mungil Terra mampu merenggut Luna dari genggaman gravitasi.

Laki-laki yang ibunya "kubunuh" itu tidur di kasur yang sama dengan Luna untuk menonton fenomena alam, gerhana bulan. Tidak hanya bermimpi di kasur yang sama, laki-laki cengeng ini juga melahap makanan yang sama dalam satu piring yang sama. Memang keduanya tidak dapat dipisahkan, seolah-olah ada tali erat yang mengikat tangan keduanya untuk selalu menyatu.

Saat menginap, Terra selalu menggandeng tangan Luna. Tidak peduli di luar atau di dalam, mereka selalu membangun dunia mereka sendiri dengan tangan-tangan mungil dan imajinasi mereka.

Hanya sedikit teman sebaya yang dimiliki Luna—anak-anak Tumpah Sari banyak yang lebih dewasa dari Luna. Oleh karena itu, jika ada anak seumuran dan sejalanpikiran dengannya, Luna tidak akan pernah melepaskan gandengan tangannya. Saking dekatnya Terra dengan bulanku, aku memberitahukan kepada Terra penyakit Luna yang tidak dapat merasakan sakit. Terra terkejut bukan main. Akan tetapi, bocah penakut itu sepertinya mengerti dengan keadaan Luna dan tidak mencoba untuk menusukkan jarum ke tubuh Luna.

Terra diperlakukan seperti pacar oleh Luna, bahkan lebih dari kekasih. Gadis polos itu bahkan pernah berjanji kepada Terra untuk menikah dengannya kelak saat dewasa dan tua bersama di kursi goyang hingga dewa kematian menjemput mereka berdua.

Akan tetapi, sama seperti anak kecil lainnya, mereka berdua sering bertengkar karena hal-hal sepele seperti tanpa sengaja menjatuhkan bakso tusuk atau berebut lauk terakhir di meja makan. Mereka juga sering bersaing dalam balapan untuk ke kamar mandi ketika pagi hari seperti rumah ini adalah arena sirkuit dengan Terra sebagai ford mustang kuning keluaran 1967 berlapis kromium dan Luna sebagai ferrari 458 berwarna merah yang diproduksi langsung dari Italia.

Lakon SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang