Bingkai merah menyambutku saat kelopak mataku membebaskanku dari gelap. Matahari yang tenggelam dan kumulonimbus menyatu dalam bentang ufuk yang melejit tinggi. Hampa. Sunyi menyayat hati hingga tak tersisa lagi daging untuk merasa. Aku sendiri merangkai kata, merajut karsa untuk melepas belenggu ilusi ini. Tak ada jalan, tak ada arah, hanya labirin waktu yang menghanyutkanku ke lautan kesendirian. Tenggelam.
Bingung menyulut penasaran dalam hatiku. Dari awal hingga akhir, aku hanya bertanya kepada diriku sendiri, "Di mana aku?" Sejauh kaki menjelajah hanya berjumpa ladang hijau yang tak bertuan dan hari yang semakin akan menjelma malam.
Bangku kosong di tengah ladang menjadi tempat peristirahatanku sejenak. Tiba-tiba, dia pun hadir di sampingku, duduk. Dia adalah Terra, laki-laki yang kuambil napasnya untuk menghidupkan Luna. Tidak ada yang asing dalam diri sahabat Luna itu, kecuali baju putih menyerupai pakaian pasien.
"Di mana aku?" tanyaku.
"Ada orang yang berkata ini adalah ruang tunggu untuk orang-orang yang salah langkah dalam hidupnya. Ada juga orang yang bilang ini adalah ruangan untuk menujukan dosa-dosa mereka di masa lalunya. Namun, aku tidak tahu pasti tempat ini apa," jelas Terra memainkan, mengayun-ayunkan, kakinya di rerumputan yang menari-nari bersama angin.
"Aku minta maaf karena aku mencuri paru-parumu untuk putriku. Aku... aku tidak tahu harus apa lagi waktu itu," kataku meratapi senja. "Aku salah, aku tahu aku salah, tetapi aku tetap melakukannya. Aku berakhir menjadi asisten pembunuh karena tak mendengarkan kata hatiku. Aku berpikir sebagai seorang ibu yang buruk waktu itu. Yang aku pikirkan hanya keselamatan anakku. Aku sama sekali tidak memikirkanmu dan masa depan semua orang. Aku baru menyadarinya, terlambat."
"Syukurlah kau menyesal. Itu berarti hati kecilmu masih membisikkan kebaikan dan menginginkan kau kembali," kata Terra tersenyum.
"Sekarang apa?" tanyaku.
"Kau harus pergi. Lambailah Luna untukku."
Tiba-tiba, gelap menutup mataku. Kemudian, riuh entah dari mana mengerumuni telingaku seperti semut yang mengerubungi gula. Seseorang yang entah siapa berteriak, "Kita akan kehilangan dia. Defibrilator!"
"Sudah berapa lama dia mengalami asistol?"
"Baru saja. Menyingkir darinya!" bentaknya menyengatkan listrik bertegangan tinggi itu ke dadaku.
Setelah beberapa sengatan, mataku disinggahi cahaya. Di hadapanku berdiri orang yang aku kenal buruk. Orang itu mendedahkan maskernya dan menyingkapkan dirinya sebagai Serigala.
"Selamat datang kembali," kata Serigala dekat sekali ke wajahku. "Sebelumnya kau telah resmi mati. Empat puluh detik yang lalu, kau baru hidup. Bagaimana rasanya neraka?"
Ini adalah ruangan putih rumah sakit yang menyambut hangatku selain Serigala. Diriku tergolek lemas dengan ventilator, kabel, dan infus di tubuhku. Borgol menghiasi pergelangan tanganku. Dua orang polisi mematung indah beberapa langkah di pintu keluar ruangan ini.
Aku memerdekakan mulutku yang terbungkam oleh oksigen. Kemudian, bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Luna?" dengan suara parau.
"Kau hampir mati karena jantungmu berhenti mendadak dan kau masih memikirkan orang lagi? Menarik," kata Serigala. "Putrimu baik-baik saja di suatu ruangan, di rumah sakit ini. Mungkin luka yang dideritanya hanya psikologis karena mempunyai ibu yang buruk."
Aku menusukkan mata serius ke matanya.
"Kau tidak perlu khawatir. Dokter-dokter sedang mengurusnya, dan tidak mengurus pemakamannya," kata Serigala. "Sekarang, yang perlu kau khawatirkan adalah kuburanmu sendiri. Jantung, paru-paru, dan hatimu, sudah di ambang batas. Organ-organ tubuhmu seperti penumpang Titanic. Tubuhmu diisi oleh beragam infeksi kotor, lebih buruk lagi kau mempunyai meningitis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakon Semesta
HorrorKirana adalah seorang dokter yang menderita congenital insensitivity to pain with anhidrosis (tidak bisa merasakan sakit). Dia dan putrinya berjuang untuk keluar dari sistem rumah sakit dan para dokter yang memanen organ tubuh manusia dari pasien.