Satu

61K 3K 32
                                    

Setelah melipat mukena lalu meletakkannya di dalam laci, Vania keluar dari kamar berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan pagi untuk mereka.

Sebagai seorang ibu, Vania merasa jika putranya terlalu cepat besar karna kini anak itu sudah tiga tahun bersekolah di sekolah dasar. Dia merasa baru kemarin melahirkan bayi lucu yang hanya bisa menangis kalau sedang lapar serta ikut menangis diam-diam setelah bayinya tidur.

"Pagi, Ma." Ucap seseorang yang membuat Vania kaget. Kemudian, dia mencari sumber suara yang menampilkan raut tak bersalahnya.

Namun alih-alih marah Vania malah gemas melihatnya, tapi sebagai seorang ibu dia tetap harus tegas agar anak itu tidak mengulanginya lagi.

"Varo, ngga baik kayak gitu." Ucap Vania. "Kamu mau buat Mama serangan jantung ya?"

Varo, putranya Vania, menggeleng lalu melihat masakan di dalam penggorengan. "wah... nasi goreng ya, mah? Pasti rasanya enak!"

"Memangnya kapan masakan Mama ngga enak?"

"Ngga pernah sih, tapi masakan mama selalu enak." Varo tersenyum menampilkan gigi rapinya.

Vania mengulum senyumnya lalu melirik jam yang menggantung di dinding. "Siap-siap sana, nanti terlambat!"

"Ya... padahal Varo mau bantu Mama lagi kayak kemarin lagi."

Vania menggeleng, menolak niat Varo untuk membantunya memasak. Hari itu sang putra itu bukan membantu, tapi menghancurkan dapurnya dan Vania tidak ingin bekerja dua kali lagi.

"Boleh ya Ma? Biar Varo bisa -"

"Enggak perlu," sela Vania. "Mendingan kamu kembali ke kamar, lalu bersiap-siap ke sekolah. Eh, memang kamu udah yakin kalau bukunya sudah di masukkan dalam tas semua? Coba cek lagi, siapa tahu ada yang tertinggal."

"Sudah," balas Varo keras kepala. "Kalau belum kenapa aku ke sini coba?"

"Ya kan siapa tahu anak Mama lupa," ucap Vania dengan nada lembutnya, tak lupa juga dengan senyum di kedua bibirnya. "Coba cek lagi ya nak."

Varo mendengus kasar lalu berjalan meninggalkan dapur dengan jalan yang di hentak-hentakkan, pertanda kalau dia sedang kesal.

Sementara Vania menghela nafas dan menggelengkan kepala karna sang putra. Kemudian, dia melanjutkan memindahkan nasi goreng ke dalam piring dan kotak bekal lalu membersihkan alat-alat memasak.

Sebenarnya Vania tak perlu melakukan itu karna ia memiliki Bik Nur, orang yang membantu merawat Varo saat Vania bekerja sekaligus membersihkan rumahnya, tapi itu tidak membuat Vania serta merta lepas tangan.

Setelah semuanya bersih, Vania kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Dia memberikan polesan pada wajahnya dan keluar dari kamar dengan sergam gurunya. Menjadi guru adalah cita-citanya dari kecil yang tak pernah berubah sampai saat ini.

Vania bersyukur kalau sebelum bercerai sudah menyelesaikan kuliahnya, lalu di percaya menjadi guru BK selama satu bulan di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta. Tapi sayang Vania bekerja di sana hanya beberapa bulan saja karna selalu di sindir oleh ibu mertuanya.

Ibu dari satu orang anak itu menggelengkan kepala, tak ingin mengingat masa lalunya. Dia mengambil tas dan keluar dari kamar.

"Kapan Bibi sampai?" tanya Vania begitu melihat Bi Nur berjalan di depannya. Dia menebak kalau wanita berusia lima puluh tahun itu mengambil sapu di belakang seperti biasanya.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang