Tiga Puluh Tujuh

18.5K 1.1K 87
                                    

"Ma, Varo ikut."


"Terus mau ninggalin Papa setelah sekian lama ngga ketemu?" Rio memberikan protesnya pada putranya.

Jadi beberapa hari setelah acara ulang tahun Varo, Rio kembali ke Jakarta bersama keluarganya termasuk Raja. Di sana dia meninggalkan banyak pekerjaan yang akhirnya menumpuk meski di bantu oleh asisten dan sang ibu.

Rio sebenarnya berat meninggalkan Varo dan ingin mengajaknya pergi, tapi dia sadar akan di hajar Vania kalau sampai melakukan itu.

"Jangan lebay deh, Pa." Varo melirik Rio tidak suka. "Kita memang udah dua bulan enggak ketemu, tapi setiap hari kita Video Call."

"Andai Papa ngga sibuk pasti-"

"Kamu di sini aja, Varo. Ngga kasihan dengan Arin? Dia ngga ada temannya." Winda bersama putrinya tiba-tiba keluar tanpa sengaja memotong perkataan Rio.

"Iya adik, tinggal aja. Temenin Kakak main."

Varo langsung menatap Arinda tidak suka pada Arinda. Sudah berapa kali dia bilang untuk tidak memanggilnya adik atau memintanya mengatakan Kakak padanya, tapi rupanya Arinda tidak memperdulikan larangannya.

Sementara Winda menangkap sinar di mata Varo pada putrinya, ingin sekali mencongkel bola mata anak itu. Kalau bukan karna anak suaminya dia sudah mengusir Varo dari rumah ini.

Winda berpikir kalau Varo anak yang manis dan penurut, tapi nyatanya tidak. Varo sangat sulit di atur, tidak takut dengan orang dewasa dan nakal.

"Gimana kalau nanti malam aja kamu ikut kami? Hmm.. sekalian kita jalan-jalan bertiga?" usul Raja yang diam dari tadi.

Varo tak langsung memberikan tanggapan hingga akhirnya terpaksa mengangguk. "Tapi perginya jangan lama ya? Walau rumah ini besar dan bagus, tapi buat Varo ngga nyaman."

Vania bertukar pandangan pada Raja yang mengangguk, lalu kembali menatap Varo. Tiba-tiba saja dia tidak ingin meninggalkan putranya di sini karna pernah merasakan perasaan yang sama.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Vania tidak ingin putranya menjadi dampak dari ke egois orang dewasa. Tapi dari awal ini memang salah mereka, andai dulu dia dan Rio tidak memaksa menikah padahal menyadari rasa tidak suka Ratih, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Tapi dari sekian banyak penyesalan yang di rasakan Vania, dia tidak menyesal telah menjadi orang yang melahirkan Varo.

"Hanya tiga jam," janji Vania akhirnya.

"Ya udah, Mama boleh pergi." Varo terseyum paksa pada Vania dan mengalihkan pandangan pada Raja. "Om Papa tolong jaga Mama."

"Pasti anak pintar!" Ungkap Raja. "Kalau gitu kami pergi dulu."

Ke empat orang yang berdiri di depan pintu rumah mengangguk, lalu Raja dan Vania melangkah meninggalkan rumah dengan perasaan tidak tega. Tapi mereka harus melakukannya agar Varo bisa akrab dengan keluarga ayah kandungnya.

***

Di ruang tamu itu terdengar tawa bahagia dari semua anggota keluarga kecuali seorang pria tua yang kurang suka dengan pilihan anaknya. Dari sekian banyak wanita yang di jodohkannya, kenapa putranya harus bersama wanita itu? Vania adalah wanita yang baik, tapi bukan hal yang baik untuk namanya baik keluarga mereka karna Raja memiliki hubungan dengan mantan istri sepupunya.

Damar, ayah Raja, beberapa kali memijit keningnya, karna setelah berita ini terkuak maka akan ada pro dan kontra di perusahaan.

"Pa, kalau lihat Varo, Mana jadi kangen masa kecil Reno. Wajahnya memang mirip Rio, tapi si..." Nadia berhenti bicara melihat wajah masam suaminya. "Kamu masih belum busa terima Mas?"

"Dia mantan istri Rio kalau kamu lupa," ucap Damar dengan suara pelan, takut di dengar Vania dan anaknya.

"Iya, terus kenapa? Anak kita bahagia dengan Vania, jadi kita juga harus suka. Kita juga kenal baik Vania."

"Kamu ngga paham dan nanti akan aku jelaskan alasannya."

Nadia mengangguk, mengalihkan perhatian pada Vania juga Varo yang bicara dengan Rega sambil memegang ponsel untuk menghubungi putranya yang lain.

"Mas Raja di mana Ga? Sialan, pantas dia memaksa gue ke luar kota karna ngga mau gue bertemu dengan Mbak Vania dan anaknya!"

Sementara itu Raja yang duduk di sofa lain bersama Vania tertawa dengan puas, membuat Reno di balik telepon mendengus. Kakak dari dua orang dua orang adik itu bahkan tidak peduli akan tatapan tidak suka yang di berikan semua orang di sana.

"Mulut lo itu di jaga!" Rega berkata tegas, membuat Reno di balik telepon meringis. "Di sini ada anak kecil!"

"Maaf, gue kelepasan. Tapi di sini bukan cuma gue yang salah. Mas Raja-"

"Kalian berdua yang salah," sela Nadia. "Kamu juga Raja tahu kalau Reno dulu dekat dengan Vania malah sengaja mengirimnya ke luar kota!"

Vania hanya tersenyum kecil menyadari kalau pria itu tidak berubah karna masih suka mengerjai adiknya. Sementara Raja sendiri hanya meringis sedikit malu pada Vania dan Varo.

"Heran sama Mbak Vania, kenapa mau sama Mas Raja? Mendingan sama saya aja Mbak, jangan sama bujang-"

"Bicara lagi gue pecat lo Reno!" sela Raja cepat.

"Meski perusahaan Mas pemimpinnya, tapi Mas ngga bisa memecat gue. Ingat pemegang sana itu Papa!"

Raja hanya mendengus dari pada Reno, dia lebih cocok dan akur dengan Rega. Sayang sekali adiknya yang satu itu lebih memilih jadi pilot dari pada membantu mereka di perusahaan.

"Ga, kasih ponselnya ke Varo. Gue mau bicara sesuatu dengan dia,"

"Bicara aja biar kami dengar," ucap Rega.

"Semuanya pasti dengar, tapi gue mau lihat wajah Varo bukan lo terus."

Reno mendengus dan memberikan ponselnya pada Varo. "Ini, kalau Om Reno ajarin Varo yang tidak benar jangan di tiru ya."

"Lo pikir gue ap-"

"Gue cuma mengingatkan." Sela Rega cepat.

Kemudian, hanya terdengar suara Reno bertanya apa yang di sukai Varo. Dia mencoba mengakrabkan dirinya dengan keponakan mereka dan hal itu membuat Vania tersentuh karna putranya di terima di rumah Raja.

"Jadi kapan kalian akan menikah?"

"Secepatnya, Ma." Ucap Raja, membuat Vania menatapnya tak kalah kaget.

"Kenapa kamu Vania? Kamu tidak mau menikah dengan Raja?" tanya Nadia lagi, membuat Vania menggelengkan kepala.

"Bukan begitu, Tante. Tadi saya... hanya kaget."

Nadia tertawa kecil. "Jangan kaku begitu, Nia. Kita sudah lama kenal dan tentu saya akan menerima kamu menjadi menantu."

Vania dan Raja dengan kompak diam-diam tersenyum dalam hati. Bagi mereka mendapatkan restu dari kedua orang tua itu penting, tapi Vania sedikit tidak yakin dengan Damar.

Pri yang dulunya sangat ramah, banyak bicara kalau dia datang kini hanya diam dengan pandangan bosan. Damar sesekali juga tampak berpikir keras dan hal itu membuat perasaan Vania sedikit tidak enak.

"Raja udah ngga sabar pengen, nikah tuh Nia." Lagi-lagi Nadia mencairkan suara sana, membuat sang putra malu. "Kamu pengen pernikahan di adakan di bulan-"

"Papa mau ke mana?" Tanya Rega melihat Damar hendak meninggalkan ruang tamu.

"Di kamar lebih nyaman dari pada di sini." Ucap Damar lalu meninggal ruang tamu dengan suasana yang berubah.

Raja menggenggam erat tangan wanita yang duduk di sampingnya, meyakinkan Vania kalau semuanya akan berjalan seperti apa dia inginkan.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang