Tiga Puluh Satu

15.5K 1K 86
                                    



"Jadi gimana hubungan lo sama Raja, Ra?" tanya seseorang yang duduk bersama Zara di salah satu kafe di sekitar rumahnya.



"Ya.. Gitu-gitu aja," jawab Zara cuek lalu menyesap minum. "Gue nyerah."



"Kok gitu? Biasanya kan lo jagonya mendapatkan orang yang lo suka," ucap seseorang di depannya lagi.



"Ya, bisa karna dia ngga mau buka hati buat gue!"



"Lo kurang usaha kali!"



Mendengar celetukan dari temannya, membuat Zara menoyor kepala wanita itu. "Gue harus usaha gimana lagi sih?"




Orang yang tak lain adalah tunangan Amar itu mengaduh ke sakitkan kemudian menatap Zara dengan pandangan tidak suka. "Ya.. udah, Raja memang bego."



"Gue udah usaha. Bahkan gue udah membuang harga diri gue jauh-jauh tapi hasilnya? Tetap sama, dia masih menolak gue." Ungkap Zara lalu menundukkan kepalanya.



Kinan melihat bahu sahabatnya itu terguncang berpindah tempat ke kursi di samping Zara, lalu mengelus bahunya pelan. Zara bercerita tanpa rasa malu menjadi tontonan banyak orang di restoran itu.



"Kalau itu yang buat lo nyaman dan bahagia, ya sudah menyerah aja." Ucap Kinan dengan menatap sahabatnya penuh simpati.



Kinan merasa Raja akan sangat menyesal karna tidak pernah melihat perjuangan sahabatnya dan saat itu terjadi, maka orang pertama yang akan tertawa adalah dirinya.



****




"Aku tahu kalau kesalahanku tidak bisa di maafkan, tapi aku ingin di akui sebagai Papa oleh Varo." Ucap Rio setelah cukup lama diam.



Setelah sedikit memaksa Vania untuk bicara serius ketika jam istirahat sekolah dan mau tidak mau ibu dari anaknya itu menurutinya.



Akhirnya setelah sekian lama Rio punya kesempatan untuk berdua dengan Vania. Dia sangat menunggu hari ini datang, tapi saat ada di depan Vania di dalam kafe yang tak jauh dari sekolah semua rencananya hilang.



"Aku ngga akan menuntut maaf darimu," kata Rio setelah menunggu Vania buka suara cukup lama. "Karna aku tak pantas menerimanya, tapi Vania bukannya Varo-"



"Seharusnya kamu tidak ke sini!" Vania menatap Rio benci. "Hidup saya dan Varo sangat baik tanpa adanya kamu."



"Sangat baik?" Rio menatap Vania tak percaya. "Omong kosong, selama ini Varo merasa tidak lengkap Vania dan harusnya kamu sadari itu!"



"Jangan sok tahu tentang putraku!" Vania melirik sekitar ketika menyadari tatapan penghuni kafe tertuju padanya.



Ibu dari Varo itu berusaha agar mengontrol emosinya apa lagi saat ini sedang menggunakan pakaian dinasnya. Vania tak ingin kehilangan pekerjaan hanya karna bertengkar dengan Rio.



"Meski baru beberapa bulan kenal, tapi aku cukup tahu tentang Varo!"



Vania mendengus menyadari Rio sudah lama ada di sini. Dia sempat berpikir kalau mantan suaminya itu baru beberapa hari tinggal di kota ini tapi nyatanya tidak.



Dia jadi curiga kalau Raka tahu tentang ini dan sepulang dari sekolah, Vania berjanji akan bertanya padanya.



"Lagi pula tak selamanya kamu bisa kabur dengan membawa anak kita." Ungkap Rio. "Dia berhak atas semuanya."



"Semuanya sudah di miliki wanita itu dan anaknya." Vania mengatakan dengan pelan dan ternyata dapat di dengar Rio.



"Tidak, saat tahu kalau kita memiliki anak maka sejak saat itu juga Varo memiliki hak yang sama dengan Arinda."

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang