Delapan Belas

17K 1.2K 23
                                    

Di hitung sudah dua Minggu Rio tinggal di rumah Raja dan yang di lakukannya selama itu hanya menonton televisi, memainkan ponsel dan mencari makan di luar. Sebagai seseorang yang sehari-harinya ada di luar rumah, dia sudah mulai bosan. Tak jarang terbesit dalam kepalanya untuk pulang, tapi Rio sadar tak akan melakukan itu setidaknya tidak sekarang.

Selain untuk membuat ibu dan istrinya sadar, dia juga sedang memantau seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya. Rio tidak menampik kalau menyesal telah menuruti keinginan sang ibu untuk menikah lagi sementara sudah memiliki istri, tapi saat itu dia belum dewasa.

Pemikirannya saat asal Ratih mendapatkan apa yang dia mau maka mamanya tak akan mengganggu rumah tangganya lagi. Namun, ternyata tidak semudah itu. Di usia kehamilan Winda memasuki empat bulan, Ratih membawanya ke rumah mereka dan berakhir dengan Vania mengetahui semuanya.

Rio tersentak dari lamunannya mendengar dering ponsel baru satu minggu juga di belinya. "Apa informasi yang kalian dapat?" tanya Rio pada seseorang di balik telepon.

"Bos benar, dia memang putranya Vania yang artinya juga anak Anda."

Pria berkulit kuning langsat, memiliki mata tajam tapi tatapan yang lembut itu tak bisa menahan senyumnya. Rio sudah menduga setelah melihat Varo karna ada sesuatu yang tak bisa di jelaskan menurutnya saat ada di dekatnya.

"Pantau terus mereka dan ingat jangan sampai ketahuan." Pesan Rio lalu menutup sambungan.

Pria yang sedang duduk di sofa berwarna hitam dengan televisi masih menyala itu terus saja tersenyum. Rio tak pernah membayangkan akan semudah ini bertemu dengan putranya. Alvaro, Vania dan Rio, nama yang dulu pernah mereka, dia dan Vania, bicarakan hampir satu tahun usia pernikahan.

Namun, setelah hampir empat tahun menunggu kabar kehamilan itu tak kunjung ada. Mereka sudah periksa ke dokter dan katanya tidak ada yang salah. Mereka hanya perlu bersabar sedikit lagi tapi tidak dengan Ratih.

"Lo jaga rumah, gue mau ke luar bentar." Ucap Raja tiba-tiba, membuat Rio tersentak dari lamunannya.

"Emang lo mau ke mana?" tanya Rio pada Raja yang terus berjalan.

"Makan malam di luar."

"Gue boleh ikut... kencan maksudnya? Sama siapa? Zara?"

Raja menghentikan langkahnya untuk menatap Rio penuh peringatan. "Jangan ngaco!"

"Terus kenapa tiba-tiba mau makan malam di luar?" Rio meneliti penampilan Raja yang tidak sekaku dari biasanya.

Kaos putih yang di lengkapi kemeja tanpa di kenakan kancing serta celana jeans panjang. Raja tak lupa membuat rambutnya menjadi sedikit acak dan menggunakan sepatu putih.

"Karna gue bosan makan di rumah," sahut Raja asal. "Udah gue mau per-"

"Gue bilang ke Tante kalau bentar lagi punya-"

"Berani lo bicara gitu maka jangan tinggal di sini lagi!" Raja menatap Rio dengan tatapan tajamnya, membuat Rio tidak takut. Tapi sadar statusnya di rumah ini hanya menumpang membuatnya mau tidak mau mengalah.

"Ya udah, gue ngga akan bilang. Kecuali kalau lo bungku-"

"Bi Ani masak banyak tadi," ucap Raja lalu melangkah menjauh meninggalkan Rio yang menggelengkan kepala.

"Orang jatuh cinta auranya beda," ucap Rio pada dirinya sendiri. "Astaga, gue hampir punya pikiran buruk tentang alasan Raja tinggal di sini."

Rio menggelengkan mengusir pemikirannya sendiri. "Raja ngga mungkin masih cinta sama Vania, dia pasti tinggal di sini hanya untuk menebus rasa bersalahnya sama seperti yang gue lakukan."

****

"Om, kenapa ke sini?" tanya Varo begitu membuka pintu rumah. "Ada yang ketinggalan? Iya? Apa itu? Biar Varo ambil, tapi Om harus tunggu di sini."

"Bukan saya ke sini..." Raja merasa tenggorokannya kering. Dia hampir tak pernah bicara dengan anak seusia Varo bahkan Arinda, anak pertama Rio, tak pernah bicara dengannya.

"Mama yang memintanya." Vania tersenyum pada Raja yang masih berdiri di luar, lalu mengalihkan pada Varo. "Kasih jalan, Omnya mau masih Varo."

"Kenapa Mama minta Om ini ke rumah?" Varo tak menuruti perkataan Vania. "Varo kan sudah pernah bilang kalau-"

"Kamu lupa apa yang sudah Mama katakan padamu dulu? Kita harus baik pada orang yang baik pada kita." Sela Vania cepat. "Ayo, masuk Mas."

Raja hanya tersenyum tipis. Hatinya sempat berbunga-bunga karna Vania membelanya di depan Varo, tapi semua itu harus layu sebab apa yang terjadi hari ini tak lain hanya untuk kejadian satu minggu yang lalu.

Tapi Raja buru-buru membuang perasaan kecewanya, dia berpikir ini adalah langkah yang baik agar semakin dekat dengan Vania lagi.

"Kenapa masih berdiri di sana? Ayo, masuk!" ucap Varo, membuat Raja tersentak.

Pria yang berjarak beberapa bulan saja dengan Rio dan Vania melangkah masuk. Dia meringis kala mendapati tatapan tak bersahabat dari Varo. Raja berpikir susah untuk mendapatkan hati anak itu, tapi dia tak akan menyerah. Seperti tekatnya mendapatkan Vania, maka dia juga harus melakukan yang sama pada putranya.

"Duduk di sini, Mas." Vania menunjuk kursi kosong di depannya. Tempat itu tidak pernah ada yang mengisi bahkan Bi Nur juga tidak duduk di sana.

Raja tersenyum kaku, mendadak semua rencana yang tersusun di dalam kepalanya hilang begitu saja. Dia layaknya orang bodoh yang selalu menurut dengan apa di katakan Vania.

"Sekali lagi terima kasih Mas, kalau bukan karna kamu-"

"Itu adalah ucapan terima kasih yang sekian kakinya saya terima dari kamu," sela Raja untuk pertama kali. "Saya ngga keberatan membantu apa lagi di repotkan."

"Tapi saya-"

"Kalau bicara terus kapan kita makannya Ma? Varo udah lapar ini." Varo tak mau kalah, dia melakukan hal yang sama dengan Raja.

"Iya, sekarang kita makan," ucap Vania sambil tersenyum tidak enak pada Raja. "Maaf-"

"Jadi kita kapan makannya?" lagi-lagi Varo memotong, membuat Vania menatap anak itu tidak suka.

"Mama ngga pernah ngajarin itu ya Varo." Peringat Vania, membuat Varo mencibir dalam hati.

Lalu dia mengambil nasi berserta ayam goreng di atas meja makan tanpa ingin di tambah dengan lauk lainnya. Sementara Raja mengambil nasi setelah Vania lalu tersenyum kala melihat salah satu lauk merupakan kesukaannya.

"Kamu masih ingat ikan ini ternyata," ucap Raja setelah memindahkan ikannya ke dalam piring.

"Oh iya," balas Vania.

"Rasanya enak sama seperti dari dulu." Ungkap Raja jujur setelah mencoba rasa ikan goreng. "Kamu sendiri kok belum makan? Atau juga masih sama kayak dulu menunggu kami selesai makan baru kamu yang makan?"

Vania tersenyum tipis dan menggelengkan. "Saya mau memastikan rasanya enak atau tidak."

Raja mengganggu lalu memakan makanannya tanpa mengatakan apapun lagi.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang