Dua Puluh Enam

13.7K 1K 23
                                    


Akhir-akhir ini Raja lebih dekat dengan Varo. Apa lagi setelah hari di mana dia menjemput anak itu di sekolah hingga berlanjut setiap harinya.

Awalnya Varo bahkan Vania melarangnya melakukan itu karna tidak ingin merepotkannya, tapi Raja tetaplah dengan pendiriannya. Dia menjemput Varo yang mau tidak mau pulang harus bersamanya.

"Jadi om Raja ngga bisa gambar?" tanya Varo sambil menutup mulutnya.

"Dari dulu kelemahan Om adalah menggambar, kalau kamu sen.." Raja menghela nafas kasar saat menoleh pada Varo yang sedang menahan tawanya. "Jangan di tahan, ngga baik."

Setelahnya Varo tertawa dengan puas di bawah tatapan heran dari pria dewasa itu. Raja heran, apa yang lucu dari perkataannya? Atau dengannya yang tidak bisa menggambar? Menurutnya tidak ada manusia yang bisa segalanya.

"Aduh.. haha.. Perut Varo sakit," keluh anak jujur lalu berusaha menghentikan tawanya. "Tapi Varo masih ingin tertawa."

"Tidak ada yang lucu," sahut Raja. "Tapi kamu tetap tertawa."

Varo langsung menghentikan tawanya dan berdeham pelan. "Gambar serta Om ngga bisa menggambar yang lucu."

Raja menghela nafas pelan, dia harus memberikan pengertian pada keponakannya. "Itu bukan sesuatu yang boleh di tertawakan Varo."

"Kenapa tidak boleh?" Tanya Varo heran. "Itu lucu."

Pria duduk di lantai yang beralaskan tikar itu menghela nafas kasar. "Tidak baik, hmm... apa kamu ingat kejadian enam hari yang kamu? Saat itu kamu cerita kalau ada kakak kelas mengejekmu tidak memiliki-"

"Om, Varo sudah bilang jangan bicarakan itu lagi!" Varo pindah duduk sari sofa yang tak jauh darinya. "Aku ngga suka!"

"Nah, itu juga yang Om rasakan!" Menurut Raja, anak itu sudah lama di manjakan oleh ibunya dan hal itu membuatnya takut kalau anak itu akan seperti Rio.

"Tapi itu beda Om, mereka sengaja mengatakannya sementara aku..." Varo terdiam karna menyadari kesalahannya. "Maaf, tapi Om benar."

Raja terseyum senang lalu bangkit berdiri dan mengacak rambut anak itu pelan. "Sekarang kamu mengerti kan? Jangan pernah melakukannya lagi ya? Kalau orang itu sudah tidak nyaman, berarti kita melakukan pembullyan."

Varo mengangguk menuruti perkataan Raja. "Oh ya, Om Raja memang ngga bisa gambar ya?"

"Tidak, tapi ada seseorang yang bisa..." Raja tidak melanjutkan perkataannya mengingat kalau orang itu adalah Rio.

"Bisa apa Om?"

"Tanya... Oh ya, mama kamu kok belum pulang?" Raja melihat jam tangannya. "Udah jam lima tapi dia belum pulang juga."

"Vania kalau ke Ibu kota memang lama Den." Bi Nur datang dengan gelas kopi dan susu. "Maklum dia belanja bulanan."

"Tapi memang selama ini Bi?" Raja tak bisa menyembunyikan tatapan khawatirnya, membuat Bi Nur tersenyum menenangkan.

"Iya, Om." Varo menyahut. "Jangan khawatir, Mama pasti pulang dengan selamat kok Om."

"Den Varo benar." Bi Nur meletakkan gelas itu di atas meja dan lagi-lagi tersenyum pada pria bernama Raja. "Non Vania adalah wanita tangguh."

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang