Tiga Puluh Tiga

14.9K 1K 48
                                    

"Papa, Arin ikut ya?"



"Ngga sekarang ya, soalnya Papa ada urusan penting di luar." Rio memberi alasan dengan lurus ke kaca lemari.



Pria itu berjanji untuk menjemput Varo ke sekolah hari ini dan bukan waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka. Rio berjanji kalau hari itu akan terwujud dalam beberapa hari lagi. Lebih tepatnya ketika hari ulang tahun Varo.



"Ya... padahal Arin mau lihat-lihat kota ini," ungkap Arinda penuh kecewa. "Arin, boleh ikut ya, Pa?"



"Besok aja bagaimana?" Rio berjongkok di depan putri cantiknya. "Papa janji bukan cuma kamu, tapi nenek dan Mama juga ikut."



Arinda menggeleng. "Maunya sekarang."



"Papa ngga suka Arin gini." Rio menatap putrinya tegas. Kalau di pikir-pikir selama ini Rio terlalu memanjakan Arinda sehingga anak itu tidak bisa menerima penolakan.



"Papa berubah," ucap Arinda mulai terisak. "Papa ngga pernah bicara gitu sama Arin."



Rio menghela nafas kasar, menyadari salahnya yang terlalu memanjakan putrinya. Merasa di perhatikan dia menoleh, melihat Winda sedang berdiri di sana.



"Tolong berikan pengertian pada Arin," pinta Rio begitu berdiri di depan Winda.



"Kenapa harus aku? Bukannya kamu-"



"Dulu, sekarang aku harus ke luar."



"Ke mana?" tanya Winda setelah memperhatikan penampilan suaminya. "Jangan bilang mau bertemu wani-"



"Bukan dia, tapi anakku." Rio sudah berjanji pada istrinya untuk selalu berkata jujur. Entah itu akan membuat sakit hati atau tidak, yang pasti mereka harus menepati kesepakatan malam itu.



"Winda, kenapa Arin belum berhenti nangis?" tanya Ratih dari luar.



"Papa ja-"



"Ini sedang aku tenangkan, Ma." Sela Winda cepat, lalu melangkah mendekati putrinya. "Ssstt... udah ya, jangan nangis lagi. Papa cuma mau keluar bentar kok."



"Tapi.. tapi... papa berubah, Ma." Adu Arinda dengan terus terisak di dalam pelukan Winda.



"Pergi sekarang, Mas." Ucap Winda pelan pada suaminya. "Arin, biar aku yang bujuk."



Rio menatap Arinda yang masih menangis di dalam pelukan Winda lalu mengangguk. Pria itu keluar rumah dengan perasaan tidak tega bahkan saat mengendarai motor Raja, Rio belum bisa melupakan tentang tangis Arinda.



Dia memikirkan kendaraan tak jauh dari gerbang. Sambil menunggu Varo keluar, Rio membuka ponselnya dan memainkan permainan di sana.



Tak lama kemudian, Rio mendengar langkah dan teriakan dari anak kecil. Dia menyimpan ponsel untuk melihat Varo keluar dari gerbang itu.



"Varo!" Panggil Rio dapat di dengar putranya. Anak itu berlari mendekatinya dengan senyum tak lepas dari bibirnya.



"Jadi Om yang jemput?" tanya Varo begitu ada di dekat Rio. "Sudah bilang Mama kan?"



Rio mengangguk. "Ayo, naik. Kita jalan-jalan dulu sebelum pulang."



Varo berteriak kecil hendak naik ke motor sebelum sebuah suara menghentikan niatnya.



"Varo itu siapa? Papa kamu ya?"



"Iya, kenapa?" balas Varo sombong. Dia mengenal anak laki-laki itu karna sering mengganggunya.



Anak itu, Bima adalah murid kelas enam, tapi suka mengganggu adik kelasnya tak terkecuali Varo. "Ngga papa, tapi kalian mirip."



"Iyalah, dia kan Papa aku! Emang aku seperti kamu, ngga ada miripnya dengan-"



"Varo!" Rio menggeleng tak suka d dengan perkataan anaknya. "Ayo, naik."



Sementara Bima diam-diam menjulurkan lidah untuk mengejek Varo, lalu menatap Rio dengan sopan. "Aku pergi dulu Om."



Rio mengangguk. Sungguh sebenarnya dia tidak suka dengan Bima, tapi pria itu sadar Kalau anak itu masih kecil. Segala hal tentang apa yang di lakukan Varo selama ini di ketahui oleh Rio yang lebih memilih tidak ikut campur asal apa yang mereka lakukan pada putranya masih aman.



"Dia anak jahat Om," ucap Varo ketika ada di belakang Rio. "Puas banget Varo sudah buat dia kesal."



"Kamu panggil saya apa tadi?" tanya Rio akhirnya. "Papa, kamu panggil saya-"



"Ngga boleh ya? Maaf," ucap Varo dengan nada sedih. "Varo cuma-"



"Kok maaf? Ngga papa, saya senang dengan panggilan itu." Rio lalu menyalakan motor dan meninggalkan wilayah seolah dengan hati luar biasa bahagia.



***



Akhir-akhir ini Vania tampak berbeda, itu yang ada di pikiran Nur yang lama bekerja dengan janda satu anak itu. Dulu, dia sulit percaya kalau Vania itu seorang janda tapi seorang yang kabur dari rumah karna ketahuan hamil di luar nikah mengingat selama ini Varo tak pernah di datangi oleh ayah kandungnya. Namun, segala pemikiran buruk tentang Vania itu perlahan menghilang ketika Vania membuka luka padanya.



"Lagi bahagia ya Non?"



Vania hanya tersenyum kecil sembari menggeleng, dia sudah mengatakan pada wanita paru baya itu untuk tidak memanggilnya dengan embel-embel 'non' tapi dengan keras kepala wanita itu menolak.



"Kelihatan ya, bi?" tanya Vania akhirnya.



"Iya, Non. Sampai den Varo aja sering tanya ke saya, Mama itu kenapa sih, bi?" ungkap Bi Nur sedikit menirukan suara Varo.



Vania menghembuskan nafas kasar meski hatinya berbunga-bunga, tapi banyak yang masih mengganjal di hatinya. Salah satunya adalah tanggapan Varo.



Dia tidak ingin bahagia sendiri sementara putranya tidak suka dengan Raja. Di tambah lagi Vania belum bertemu dengan orang tua Raja. Dulu mereka memang dekat layaknya orang tua pada anaknya, tapi waktu berubah begitu juga dengan karakternya.



"Apa ada yang mengganggu pemikiran Non?" tanya Bi Nur, membuat Vania mengangguk.



"Banyak Bi."



"Apapun itu Non harus percaya dengan kata hati dan Mas Raja. Saya lihat kalau dia adalah pria yang baik."



Vania tidak akan mengingkari itu, tapi ada hal lain yang mengganggu pikirannya. "Bi bagaimana kalau mereka mengambil Varo?"



"Mereka tidak akan melakukan itu, Non." Ucap Nur, mengerti dengan mereka yang di maksud Vania. "Lagi pula ada Mas Raja, jadi Non ngga perlu takut."



"Bagaimana kalau Varo kecewa karna pilihan aku untuk pergi beberapa tahun yang lalu Bi? Terus dia marah dan tinggal dengan Rio."



"Saya rasa itu tidak mungkin Non," ucap Bi Nur setelah diam cukup lama. "Den Varo anak cerdas di usianya yang masih muda."



"Varo juga anak yang pengertian Bi," tambah Vania lalu menghela nafas lelah. "Ini tentang Mas Raja... dia mau saya ke Jakarta lagi Bi."



"Bagus itu, Non."



"Tapi saya masih berat meninggalkan tempat ini dan juga Bibi." Ungkap Vania. Mereka sebenarnya ingin memasak untuk makan malam, tapi semua itu harus di tunda karna cerita Vania.



"saya malah senang Non ke Jakarta." Bi Nur tersenyum tulus pada Vania. "Semakin lama di sini maka makin juga Non Vania lari dari kenyataan. Menurut saya masalah itu akan selesai bila di hadapi."



"Tapi bagaimana kalau-"



"Jangan biasakan memikirkan sesuatu yang belum terjadi Non, karna itu hanya pikirkan kita saja." Sela Bi Nur cepat. "Atau Non mau seperti ini selamanya? Saya rasa itu tidak buruk juga."



Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang