Beberapa tahun kemudian
"Varo, bangun!" Vania sedikit mengguncang anak berusia lima balas tahun yang masih pura-pura tidur itu dengan kasar. "Itu Arin sama Papa kamu udah nunggu di bawah!"
Tak kehabisan akal, dia mengambil gelas di nakas tak jauh dari ranjang dan sedikit menumpahkannya pada bagian belakang kepala Varo.
"Apaan sih, Ma!" Varo memutar tubuh, menatap Vania kesal. "Varo ngga suka dengan mereka!"
"Hei, ngga boleh ngomong gitu!" Vania duduk di tepi ranjang putranya. "Walau bagaimana-"
"Ma, Tante itu ngebentak aku padahal aku ngga nyentuh anaknya. Aku juga ngga pernah membuat Elsa nangis seperti yang dia tuduhkan," cerita Varo penuh emosi.
Elsa adalah putri kedua Rio dan Winda yang baru berusia satu tahun. Dia adalah bayi yang suka menangis tidak seperti si kembar, Abian dan Abila. Varo sebenarnya tidak membenci anak itu, sangat sayang malah. Tapi melihat drama menangis Elsa yang berujung Winda marah setiap kali dia datang ke rumah itu, membuat Varo jadi malas ke sana lagi.
"Namanya juga anak kecil, dia masih-"
"Bila juga pernah seusia dia, Ma. Tapi ngga secengeng Elsa!"
"Mamamu itu baru saja kehilangan, Nak." Rio bersama Arinda dan Raja melangkah masuk ke dalam kamar. "Di tahun yang sama dia harus operasi dan di nyatakan tidak bisa hamil lagi."
"Semua itu ngga ada hubungannya dengan Elsa apa lagi aku, Pa! Tapi kenapa di sini Tante bahkan Papa seolah menyalakan aku?" Varo menatap Rio tidak suka. "Tante kehilangan calon anaknya untuk ke sekian kali bahkan di nyatakan ngga bisa hamil lagi itu bukan salah aku tapi -"
"Mama ngga mengajarkan kamu untuk ngga sopan Varo!"
Varo mendengus lalu menarik selimutnya lagi. "Mendingan Papa pulang, aku ngga akan mau ke sana lagi."
"Va-"
"Vania, udah jangan di paksa." Larang Rio, lalu melangkah keluar dari kamar di susul oleh yang lain.
"Kita bicara dulu Yo, baru lo bisa pulang." Tahan Raja, begitu melihat sepupunya berjalan ke pintu ke luar.
Rio menghela nafas lelah dan menuruti perkataan Raja. Mereka akhirnya duduk di sofa tanpa ada yang mau buka suara. Ke empat orang itu sibuk dengan pikiran masing-masing yang tak jauh tentang Varo.
"Varo mungkin lupa kalau Mama juga sering marah dan udah beda sama Arin." Ucap Arinda pertama kalinya. "Padahal dulu Mama ngga gitu saat sedih, dia masih peluk, sayang, dan mencium Arin meski di liputi duka karna kehilangan adik. Tapi setelah Elsa lahir dan Mama-"
Vania membawa Arinda dalam pelukannya dan memberikan elusan pada punggung gadis kecil itu. Dia tidak mengatakan apapun selama anak yang dulu pernah menjadi luapan akan kebenciannya pada Winda karna sudah merusak rumah tangganya bersedih.
Diam-diam Rio menyeka air matanya. Dia merasa ini seperti karma karna sudah menyakiti mantan istrinya dulu. Winda yang di angkat rahimnya sehingga memuat harapan istrinya untuk memiliki anak laki-laki pupus.
Tidak hanya pada Varo dan putrinya Winda melampiaskan amarahnya, tapi pada dirinya serta sang ibu. Ratih di masa tuanya harus menerima banyak rasa sakit hati karna perkataan tajam istrinya yang tidak mendapatkan bantahan.
"Gimana keadaan Tante?" tanya ayah dari anak kembar itu pada Rio untuk mengalihkan perhatian.
"Ya, kayak gitu Ja. Masih sering ke rumah sakit untuk kontrol ke deh aja jantung," sahutnya. "Bian sama Bila mana Ja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati (SELESAI)
Chick-LitVania, janda beranak satu yang memilih meninggalkan suaminya dari pada harus di madu karna kata orang kalau dia wanita mandul. Kini dia hidup dengan bahagia bersama putranya tanpa adanya banyang-banyang masa lalu jauh dari ibu kota Jakarta. Mencari...