Varo tidak pernah suka ulang tahunnya di rayakan karna menurutnya membuang-buang uang. Anak Vania itu lebih memilih di belikan mainan dari pada harus mengundang orang ke rumah atau merayakan di sekolah, seperti yang kini Mamanya lakukan.
"Jangan menolak!" ucap Vania tak bisa menahan senyum. "Ngga terasa anak Mama udah besar, selamat ulang tahun sayang."
"Ma, Varo-"
"Mau di belikan mainan atau alat gambar baru? Tenang, semua itu akan kamu dapatkan." Vania melempar senyum pada teman satu kelas putranya yang sedang bernyanyi lagu selamat ulang tahun dan sesekali ikut bernyanyi juga.
Sekarang Varo duduk di kursi, di depannya ada meja yang terdapat kue ulang tahun. Di kepala anak itu juga di lengkapi atribut pelengkap khas ulang tahun, yang menurut Varo sangat anak perempuan.
Dia juga tak berani melirik Tory dan Eza, yang pasti sedang menertawakannya. Meski kedua temannya ikut bernyanyi tapi Varo yakin kalau mereka sedang mengejeknya dalam hati.
Belum lagi beberapa murid yang mengintip dari jendela, mereka pasti berpikir buruk tentangnya. Diam-diam Varo ingin kabur dari sini, tapi dirinya tahu itu semua tidak mungkin di lakukannya.
"Sekarang saatnya potong kue tapi sebelum itu Varo tiup lilinya dulu ya." Kata Bu Anggi, wali kelas Varo, sebagai pembawa acara. "Jangan lupa doa."
Saat akan menunduk tatapan Varo tanpa sengaja melihat Tory dan Eza yang menahan tawa. Dia melotot pada mereka yang membuat keduanya terdiam.
"Tunggu soalnya lagi Varo? Kasihan teman-temannya belum mau makan," ucap Bu Guru mengingatkan Varo.
"Iya, Bu." Varo meniup lilin tanpa berdoa, membuat seisi kelas bertepuk tangan.
Setelahnya Varo menerima suapan dari Vania, Raja, Rio, dan Winda dengan terpaksa.
"Selamat ulang tahun anak Mama." Ucap Vania dengan mata berkaca-kaca, setelah memberikan suapan pada putranya.
"Selamat ulang tahun Varo." Raja mengacak rambut anak itu setelah memberikan suapan, lalu memberikan sendoknya pada Winda.
"Si ganteng selamat ulang tahun ya jadi, adik yang baik untuk Arin. Eh, tapi sepertinya kamu lebih cocok jadi abang deh." Ungkap Winda setelah menyuapi Varo, lalu memberikan sendok pada Rio.
Winda kemudian mengalihkan pandangan pada Arinda yang sudah bergabung bersama anak perempuan di kelas ini.
"Selamat ulang tahun jogoan, Papa." Rio memberikan kue pada Varo. "Anak pintar juga, semoga jadi anak yang lebih kuat agar bisa jagain Mama."
"Makasih Papa." Varo menunduk malu untuk menyembunyikan air matanya.
Dia tak pernah berpikir di ulang tahunnya ini akan mendapatkan banyak kejutan dari orang yang sangat menyayanginya. Meski kurang sangat nenek, tapi itu bukan masalah bagi Varo.
Kemarin, ibunya sudah menceritakan semuanya pada Varo. Dia awalnya tidak bisa terima karna ayahnya tidak tinggal satu rumah dengan sang ibu, seperti kebanyakan orang tua teman-temannya. Tapi semakin lama dia sadar kalau tak semua temannya bisa tinggal satu rumah dengan orang tuanya.
Ada beberapa temannya bercerita kalau ayah dan ibu mereka selalu berdebat kalau tinggal serumah, tapi kalau beda rumah mereka tidak pernah bertengkar lagi. Mereka juga mengatakan kalau orang dewasa ribut itu menyeramkan, ada yang teriak, lempar barang dan saling memukul.
Setelah hari itu, Varo merasa bersalah pada ibunya karna sempat memaksa agar kedua orang tuanya tinggal bersama. Lalu dia minta maaf dan belajar menerima segalanya.
"Setelah ini acara yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang juga yaitu makan kemudian bagi-bagi jajan " Bu Anggi tertawa begitu juga dengan beberapa anak lainnya. "Dengan ini perayaan ulang tahun Varo berakhir. Ibu minta maaf ya pada anak-anak ibu, Papa, Mama, Om dan Tantenya Varo kalau ada salah kata."
Setelah itu Vania, Raja, Winda, Arinda dan di bantu guru kelas membagikan bingkisan yang berisi sarapan, mainan dan jajanan pada semua murid di kelas tiga.
Sementara Rio masih berdiri di samping Varo. Dia menatap anak itu cukup lama lalu memutuskan untuk mendekat.
"Masih ngga suka ulang tahunnya di rayakan?" tanya Rio.
"Bukan ngga suka, tapi malu." ungkap Varo. "Setelah ini pasti teman-teman mengejek. Katanya udah besar kok ulang tahunnya masih di rayakan."
Rio mengerutkan kening. Dia tidak berpikir sampai sejauh itu tentang perayaan ulang tahun yang menurutnya sangat sederhana ini. Seandainya boleh Rio akan merayakan ulang tahun di hotel dan mengundang anak rekan kerjanya, tapi sayang Vania menolak idenya dan terpaksa puas dengan merayakan di sekolah.
"Memang apa salahnya? Papa mampu merayakan ulang tahun kamu."
Varo melirik Rio kesal. "Bukan itu masalahnya Papa! Tapi Varo malu, Papa ngerti ngga sih!?"
Rio menggeleng. "Jangan memikirkan yang terjadi nanti, kamu bahagia dengan acara ini kan? Jadi itu aja yang di pikirkan."
Kadang Rio lupa kalau putranya baru berusia sepuluh tahun, tapi seperti bicara dengan anak lebih dewasa. Rio sendiri bingung kenapa Varo banyak berbeda dengan Arinda yang nyatanya lebih tua, tapi bersikap layaknya anak seusianya.
Apa karna pengaruh lingkungan atau hidup? Rio menggeleng menolak pemikirannya. Dia lebih setuju mengatakan putranya cerdas.
"Pa, kira-kira Nenek bakal sayang aku ngga ya?" tanya Varo membuyarkan lamunan Rio.
"Kalau dia ngga sayang, ada banyak yang sayang kamu kok." Rio tersenyum untuk menguatkan putranya. "Ada Papa, Om Raja, Mama Vania dan Mama... Tante Winda. Kamu juga harus tahu kalau keluarga Papa dan Ommu di Jakarta juga sayang kamu."
"Bagaimana kalau mereka ngga sayang?" tanya Varo sedikit tidak yakin, membuat Rio membelai rambut putranya dengan lembut
"Mereka pasti menyayangimu." Rio tersenyum lagi. "Oh ya, dulu kamu pernah bertemu Om Rega kan? Dia adiknya Om Raja, salah satu sepupunya Papa juga. Dia sayang kamu kan?"
Varo mengangguk penuh semangat. "Iya, Om Rega juga punya suadara kembar katanya."
"Iya, kamu mau tahu satu rahasia tidak?" Rio tersenyum penuh makna pada Varo yang lagi-lagi mengangguk. "Dulu Om Reno dan Om Rega cuma nurut sama Mama kamu. Kalau sama Papa dan Om Raja, mereka nakal. Makin kami marahi mereka malah berulah."
Varo tertawa kecil. "Mama memang bisa membuat orang takut Om."
"Pada bicara apa ini?" Winda mendekati Varo dan suaminya dengan tersenyum. "Aku lihat dari tadi kayaknya seru banget."
"Cerita tentang Mama yang di takuti Om Rega dan Om Reno."
Senyum di wajah Winda hilang, tapi masih mempertahankan keramahannya. "Benar Mas? Si kembar itu takut dengan Vania?"
Rio mengangguk. "Iya, selain pada Om dan Tante, mereka dulu takutnya sama Vania. Kalau ke kami mereka berdua makin di larang maka makin susah di atur."
"Padahal kalian saudaranya, tapi ngga ada takut-takutnya." Winda tertawa kecil menanggapi cerita suaminya. "Tapi mungkin waktu itu karna Vania, perempuan satu-satunya selain Mama, makanya mereka nurut."
Suami istri itu terus bicara dengan sesekali tertawa dan tanpa sadar mengabaikan Varo yang mendesah bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati (SELESAI)
ChickLitVania, janda beranak satu yang memilih meninggalkan suaminya dari pada harus di madu karna kata orang kalau dia wanita mandul. Kini dia hidup dengan bahagia bersama putranya tanpa adanya banyang-banyang masa lalu jauh dari ibu kota Jakarta. Mencari...