Tiga belas

21.6K 1.3K 1
                                    

Seperti biasa kalau tidak bekerja maka Rio akan olah raga, biasanya dia akan ke pusat kebugaran serta ke lapangan untuk bersepeda, tapi kali ini Rio memilih untuk berolah raga lari di perumahan tempat Raja tinggal.

Dari awal berlari kecil Rio tak melihat banyak jarak antar rumah dari rumah yang lain, tempat ini sepertinya adalah tempat yang cukup berkelas. Selain itu, dia tak melihat ada satu pun rumah yang tidak memiliki kendaraan roda empat.

Rio terus berlari kecil mendekati lapangan yang di penuhi anak kecil. Dari jauh, dia sudah melihat kursi di bawah pohon yang bisa di jadikannya tempat untuk istirahat sejenak.

"Dia mainnya curang!"

"Ngga ya, aku ngga curang!"

"Jangan bohong lagi, aku tadi lihat kamu narik bajunya Varo sampai rusak!"

"Aku ngga bohong, kalaupun aku yang melakukannya pasti aku mengaku, tapi nyatanya enggak!"

Teriakkan yang saling bersahutan itu sampai pada telinga Rio yang duduk di bawah pohon. Dia tari tadi melihat anak itu bermain bola hingga akhirnya salah satu anak berbuat curang, tapi Rio tak ingin ikut campur karna dia yakin kalau mereka bisa menyelesaikan masalahnya.

Pun kalau dia ikut campur, perdebatan antara beberapa anak itu akan semakin sengit. Tiba-tiba saja Rio mengingat anaknya, meski seorang putri tapi anak itu suka bermain dengan laki-laki. Tak jarang Arinda, putrinya, menangis namun tidak membuat Arinda jera.

"Kamu lagi apa ya sekarang Arin?" Rio menatap potretnya bersama sang anak di layar ponsel. "Sudah makan? Sudah minum obat? Jaga kesehatan ya nak dan maafkan Papa yang egois ini."

"Om?"

Rio mengalihkan pandangan dari layar ponsel untuk menatap orang yang bicara padanya. Dia terteguh untuk beberapa saat lalu tersenyum tipis. "Ya?"

"Boleh Varo duduk di sini?" tanya anak itu hati-hati pada pria dewasa berkumis tipis itu.

"Boleh." Rio menggeser duduknya setelah menyimpan ponselnya lagi. "Baju kamu kenapa?"

"Di tarik mereka, tapi ngga mau ngaku." Varo menghela nafas kasar dengan pandangan tak lepas dari lapangan.

"Kamu suka bola ya?" tanya Rio dengan tatapan tak bisa terbaca.

Varo mengangguk. "Iya, sangat, tapi kayaknya setelah ini aku ngga bisa main lagi."

"Kenapa? Oh, apa karna baju yang rusak?"

Varo mengalihkan pandangan pada Rio, lalu mereka bertatapan lama. "Bukan, Mama ngga suka lihat aku main bola. Eh, tapi Mama dari dulu memang ngga suka semua yang aku suka sih, contohnya menggambar. Eh, maaf Om."

Rio terseyum tipis. "Ngga papa, oh, jadi kamu bisa gambar?"

Varo mengangguk dengan semangat. "Iya, tapi Mama ngga suka."

"Oh ya, nama kamu siapa?" tanya Rio mengalihkan pembicaraan. Dia tidak bisa melihat anak itu sedih, tapi tak memiliki hak untuk memberi nasehat. Rio juga takut salah bicara dan akan membuat hubungan orang tua memburuk.

"Varo, Alvaro Novendra."

"Kamu lahir di bulan November ya?" Rio memberikan senyum usil, membuat Varo membulatkan mata tak percaya.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang