Varo sudah dari satu jam yang lalu meminta izin pada Vania untuk bermain bola. Ibunya tidak mengizinkannya lagi bermain selama dua minggu ini karna terakhir dia pulang dengan lutut yang berdarah.
"Ma, Varo mohon boleh ya?" Varo tak akan menyerah, dia mengikuti ke manapun ibunya pergi.
Vania berjalan ke kamar maka Varo mengikutinya juga dengan mengatakan hal yang sama. Anak itu yakin kalau sang ibu tak akan tega membiarkannya memohon seperti ini.
"Astaga, aku hampir lupa kalau bentar lagi acara itu mulai." Vania buru-buru keluar dari kamar yang terus di ikuti Varo.
"Ma, boleh ya?"
Vania mengambil remote televisi dan menyalakannya. Ibu dari satu anak itu melangkah menuju sofa tanpa memeperdulikan rengekkan putranya. Dia yakin kalau Varo akan diam ketika merasa lelah.
"Ma, masa aku ngga ikut main sih? Emang Mama mau Varo tidak punya teman lagi di sekolah? Kan Mama juga tahu kalau mereka semua adalah teman-teman aku di sekolah." Varo mulai beraktingnya dengan menangis berharap kalau hati Vania akan luluh. "Mereka juga yang menantang duluan Ma, mereka bilang kalau Varo anak penakut, lemah dan cemen."
Diam-diam Vania melirik putranya, lalu membuang pandangan ketika Varo mengangkat kepala untuk menatapnya. Perlahan Vania mulai goyah, setakut apapun dia untuk melihat Varo terluka, tapi melihat anak itu memohon hanya untuk di izinkan bermain terasa sangat kejam. Walau bagaimanapun dia pernah kecil dan merasakan betapa tidak enaknya harus diam di rumah.
"Mereka juga bilang-"
"Kamu boleh bermain, tapi ingat ya Mama ngga mau kamu terluka lagi!" Vania menatap Varo serius, membuat anak itu mengangguk beberapa kali.
"Iya, Ma." Varo langsung bangkit berdiri dan sedikit belajar mendekati kamarnya.
Di dalam kamar yang serba warna biru yang khas dengan salah satu karakter kartun anak-anak, Varo membuka lamarinya. Dia mengenakan pakaian serba biru sama halnya dengan yang teman-temannya kenakan. Sebelum keluar dari kamar, anak kecil bernomor punggung sembilan itu melihat penampilannya lewat kaca dan tersenyum puas karna penampilannya sudah sempurna.
Kemudian dia meraih tas yang isinya air minum, baju ganti, sisir, minyak rambut dan tidak lupa dengan kaca kecil untuk mempermudahnya melihat penampilannya yang semakin ganteng. Ya, Varo sudah mempersiapkan semuanya. Dia hanya butuh izin dari Vania yang sudah di yakininya pasti di dapatkannya.
Varo masih melihat Vania yang televisi, lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia mulai berpikir untuk pergi lebih cepat dari biasanya, toh itu akan lebih baik.
"Kamu udah mau pergi?" tanya Vania begitu melihat Varo.
"Iya."
"Ngga terlalu cepat ya? Memang teman-teman kamu sudah pasti datang?" tanya Vania lagi setelah melirik jam yang ada di dinding.
"Iya, tapi mau datang lebih cepat aja."
Vania menganggukkan lalu berdiri hendak meraih kunci motornya, tapi urung di lakukannya mendengar suara Varo. "Ngga usah di antari, Ma. Aku bisa sendiri."
"Kenapa?" Vania bertanya setelah memutar badannya menghadap Varo.
"Hmm... cuma mau pergi sendiri dengan berjalan kaki." Varo melanjutkan jalannya ke keluar dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati (SELESAI)
ChickLitVania, janda beranak satu yang memilih meninggalkan suaminya dari pada harus di madu karna kata orang kalau dia wanita mandul. Kini dia hidup dengan bahagia bersama putranya tanpa adanya banyang-banyang masa lalu jauh dari ibu kota Jakarta. Mencari...