Lima Belas

22K 1.3K 30
                                    


"Varo!"

Vania mendengar suara gemercik air dari kamar mandi di susul dengan suara orang yang sedang bernyanyi. Setelah berdiri di pintu kamar cukup lama, Vania memutuskan untuk menunggu di pinggir tempat tidur sampai anak itu keluar dari sana.

Lima menit kemudian, Varo keluar dengan handuk yang melingkari pinggang kecilnya. Dia terlonjak kaget melihat Vania. "Astaga, Varo pikir siapa? Eh, tahunya mama."

Varo tetap melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Dia hendak kembali ke kamar mandi tapi gerakannya terhenti mendengar perkataan Vania.

"Kenapa harus ke kamar mandi kalau mau ganti baju? Di sini aja!"

"Aku sudah besar dan tahu rasa malu." Tanpa mendengar tawa mamanya, Varo melesat ke kamar mandi.

Varo keluar dengan celana pendek juga baju kaos. Dia berjalan mendekati Vania lalu mendaratkan bokongnya tak jauh dari ibunya.

"Tumben ke kamar Varo, ada yang mau Mama bicara?" Varo membuka suara lebih dulu tanpa menatap Vania.

"Memang ngga boleh ke kamar anak sendiri?" tanya Vania balik sambil menatap anaknya. Semakin di lihat Varo semakin mirip pria itu, sampai sekarang Vania heran, padahal dia yang mengandung, membesarkan dan semuanya, tapi kenapa anak itu malah jauh lebih mirip dengan ayahnya alih-alih dirinya?

Vania menggeleng tak ingin memikirkan itu lagi. Alasannya menemui putranya untuk menghibur diri bukan menambah sakit hatinya.

"Mama selalu gitu," ungkap Varo agak kesal. "Luka-luka di tubuh Mama masih sakit?"

"Enggak udah mendingan."

Varo mengangguk dan tak bertanya lagi. Hari ini adalah hari Jumat dan Vania di berikan libur setelah mengatakan musibah yang baru di terimanya ke sekolah.

Biasanya para guru, murid yang dia menjadi walinya bahkan perwakilan murid sekolah menjenguk guru yang mendapatkan musibah. Menurut info yang Vania dapat dari grup kalau mereka akan datang hari ini.

Sebenarnya Vania sudah menolak dengan alasan lukanya tidak parah, tapi pada guru dan beberapa murid tetap kukuh ingin melihat sehingga tak bisa di tolaknya.

"Aneh ya, Mama yang sakit tapi kamu yang tidak mau sekolah." Ucap Vania setelah diam cukup lama.

"Aku kan pengen ngerawat Mama," alasannya.

"Mama ngga bisa kamu bohongi." Vania tersenyum pada Varo. "Tapi ya sudah, Mama mau keluar dulu pengen bantu Bi Nur masak."

"Aku juga mau bantu." Varo berdiri dari duduknya dan mengutip langkah Vania.

"Mendingan kamu main sama Gea, kasihan anak itu ngga ada temannya." Vania berhenti melangkah untuk melihat Gea menonton televisi.

"Ngga mau, Gea nakal." Varo menatap anak itu sebentar. "Aku mau-"

"Ngga ada Varo, kamu nantinya bukan bantu malah membuat pekerjaan Mama bertambah."

"Enggak Ma, Varo cuma mau bantu."

Vania tetap menggeleng. "Tidak, kamu lebih baik main sama Gea dari pada bantu Mama dan Bi Nur di dapur."

***

Senin pagi, Vania kembali sekolah dan seperti biasa mengantarkan Varo lebih dulu. Dia lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja seperti hari-hari biasanya. Vania juga membawa bekal yang di beli bukan di buatnya sendiri karena tidak sempat. Hari biasanya, dia memasak bekalnya sendiri tapi karna hari adalah hari piketnya membuatnya tidak ingin terlambat datang ke sekolah.

Sebagai guru bimbingan konseling serta wali kelas sebelas IPS dua, dia harus lebih disiplin dari pada murid serta guru lainnya karna kalau tidak namanya sebagai guru konseling akan buruk.

"Gimana kondisinya Bu Vania?" tanya Intan yang menemani Vania ada di dalam ruangannya. Kata wanita itu hanya di sana satu-satunya tempat yang tenang dari gosip antara guru.

"Alhamdulillah, baik Bu." Vania tersenyum pada Intan.

Intan membalas senyum ibu dari satu orang anak itu. "Oh ya, Bu Vania, Varo udah lama ngga kesini ya? Biasanya sekali dalam seminggu dia akan main di sini."

"Dia kan udah sekolah, Bu. Pulang sekolah dia belajar dan main sama teman-tamannya."

"Oh astaga, saya lupa." Intan tertawa kecil. "Ngga terasa ya Bu, padahal dulu dia masih kecil dan sekarang udah sekolah aja."

Vania mengangguk membenarkan apa yang di katakan Intan. Kemudian tak ada yang bicara lagi. Intan sibuk dengan memeriksa buku muridnya sementara Vania membaca buku.

Tahun ini Vania memang bertekad untuk mengikuti ujian yang akan mengubah hidupnya. Meski perasaan takut tidak di terima itu sering menghampirinya, tapi dia tetap berusaha.

Vania juga banyak mendengar kalau menjadi PNS ada beberapa orang menggunakan orang dalam, tapi dia tidak peduli. Menurutnya semua hal itu terjadi karna adanya usaha dan keberuntungan.

"Bu udah waktunya anak-anak masuk kelas." Intan mengingatkan Vania yang tersentak dari lamunannya.

"Oh iya, makasih sudah mengingatkan Bu." Setelahnya Vania melangkah keliar dari ruangan itu menuju lonceng di depan kantor.

Vania memukul beberapa kali lonceng itu dengan pelan hingga membuat semua murid kembali ke dalam kelasnya.

"Bu Vania, ke ruangan saya sebentar." Ucap seseorang menghentikan niatnya untuk kembali ke ruangannya.

Ibu dari satu orang anak itu mengikuti kepala sekolah ke ruangannya. Mereka tidak mengatakan apapun selama beberapa saat hingga tiba-tiba saja pria yang duduk di depan Vania berdiri dan melangkah mendekati meja kerjanya.

"Kamu tahu Prayoga?" tanya Baron, kepala sekolah, pada Vania begitu duduk di tempat yang sama.

"Yoga... anak di kelas saya Pak?" tanya Vania memastikan, membuat Baron mengangguk.

Vania menghela nafas kasar. Ibu dari satu orang anak itu sudah tahu arah pembicaraan ini, tapi dia hanya diam menunggu.

"Seperti yang kita semua tahu kalau dia seorang pecandu." Baron berhenti sejenak untuk melihat ekspresi Vania. "Tadi dia sudah mengaku ya meski sebenarnya kita semua sudah tahu dan sekarang, dia sedang bicara dengan wakil kesiswaan."

"Syukurlah," ucapnya lega. Vania tidak pernah melindungi anak itu hanya saja dia merasa cara mereka selama ini salah. Anak itu tak akan mengaku kalau para guru memaksa Prayoga terus hingga membuatnya takut.

"Kamu tidak marah?" Baron menatap Vania heran.

"Sepertinya ada salah paham di sini, saya membelanya bukan ingin membenarkan apa di lakukannya, tapi saya rasa cara kita untuk tahu itu salah." Vania merasa dadanya sesak karna sedikit banyak dia tahu alasan anak itu memilih jalur yang salah.

"Saya mengerti," balas Baron. "Dan saya berharap kalau kamu tak melakukan itu lagi."

Vania meringis antara malu dan merasa bersalah. Dia mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu, bagaimana ibu dari satu anak itu melindungi Prayoga mati-matian hanya karna dia tahu sedikit masa lalunya.

"Selain itu apa yang kamu lakukan membuat beberapa murid cemburu," lanjut Baron membuat Vania semakin merasa tindakan yang di ambilnya salah.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang