Setelah menyampaikan pesan dari kepala sekolah bahwa rapat di batalkan pada semua Raja kembali menekuni pekerjaannya. Dia sebagai wakil kepala sekolah wajib menyampaikan berita itu walaupun sebagian guru sudah tahu lewat pesan di ponsel masing-masing.
Seperti yang sudah di perkirakan, kalau beritanya menumpang dengan mobil Zara sudah menyebar di sepenjuru sekolah. Bahkan para murid harusnya tak boleh tahu jadi tahu dan beberapa mendukungnya agar memiliki hubungan yang serius dengan wanita itu tapi karna sudah terbiasa, Raja mengabaikan semua itu dengan keyakinan akan hilang sendirinya.
"Pak, masuk ke kelas berapa hari ini?"
Raja yang fokus memeriksa tugas murid mendongak, lalu dia menghela nafas kasar. "Sebelas Ips dua."
Zara mengangguk sambil berseru pelan. "Di kelas itu banyak anak yang susah di atur Pak, saya kemarin di sana hampir na-"
"Udah ganti pelajaran," gumam Raja pelan lalu bangkit berdiri ketika mendengar suara bel Sekolah. "Maaf Bu Zara, saya harus ngajar dulu."
Raja melirik Zara lalu melangkah meninggalkan kantor dengan mengabaikan tatapan tidak percaya dari semua Guru yang ada di kelas.
"Sabar Bu Zara."
Samar-samar Raja bisa mendengar suara dari Guru perempuan yang memberikan semangat pada Zara, tapi dia tidak peduli dengan terus melangkah.
"Sial, semakin lama gue di sini maka semakin ngga nyaman." Raja terus berjalan melewati ruang kelas. "Gue harus gerak cepat."
"Masuk-masuk!" titah Raja melihat beberapa murid kelas sebelas IPS berkeliaran di luar. "Atau kalian mau saya kunci di luar?"
"Jangan Pak!"
"Tunggu Pak!"
"Pak, saya mau izin ke toilet dulu sama Dina."
Raja berhenti melangkah lalu menghela nafas kasar. Dia mengangguk, membuat kedua murid perempuan itu tersenyum lebar dan berjalan meninggalkannya. Setelah memastikan semua murid masuk ke dalam kelas Raja menutup pintu dan langsung berjalan mendekati meja Guru.
"Apa ada tugas?" tanya Raja setelah meletakkan tas dan buku di atas meja. Dia berdiri sambil sedikit bersandar di meja dengan tatapan lurus pada muridnya.
"Engga ada Pak," jawab mereka serentak, membuat Raja menaikkan satu alisnya heran.
"Jangan bohong, saya rasa minggu kemarin saya meninggalkan tugas," ungkapnya yakin.
"Enggak ada Pak, Bapak cuma bicara kalau minggu depan kita ulangan." Riana memalingkan wajah begitu menyadari perkataannya.
Semua murid dengan kompak menyorakinya karna dia lagi-lagi membuka sesuatu yang sengaja mereka rahasiakan dari tadi. Riana benar-benar lupa dengan perjanjian itu dan dia yakin setelah ulangan, teman sekelasnya akan mengerjainya.
"Oh ya, saya lupa, kelas lain yang saya kasih tugas tapi khusus kelas ini saya minta untuk belajar karna minggu dengan ulangan." Raja mendekati kursi dan mendaratkan bokong di sana. Dia membuka laptop untuk melihat soal yang sebenarnya sudah di buatnya.
"Oke, saya kasih waktu kalian membaca buku selama tiga puluh menit dan setelahnya kumpulkan di meja saya."
***
"Bi, Gea masih ada di ibunya ya?
"Iya, Non. Duh saya jadi khawatir kalau dia bawa anaknya ke mamah mana." Bi Nur tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya mengenai cucu yang ada pada ibu kandungnya.
Bi Nur tidak akan seperti itu kalau saja menantunya dalam kondisi jiwa yang baik. Istri dari putranya yang sudah meninggal itu hampir mencelakai dirinya sendiri, tapi setelah bertemu dengan pria baik dan mereka memutuskan untuk menikah tahun ini, wanita itu tak pernah kambuh lagi.
"Tapi masih sering berkomunikasi kan Bi?" tanya Vania sembari melangkah mendekati lemari pendingin. Dia mengambil ayam lalu meletakkan di meja tempatnya berdiri tadi.
"Satu minggu kemarin dia masih sering telepon, cerita tentang Gea, tapi udah tiga hari ini dia mulai jarang melakukan itu, Non." Bi Nur memindahkan mangkok berisi tumis kangkung yang masih panas ke atas meja makan.
"Loh kok gitu Bi? Dia kasih penjelasan ke Bibi kan kenapa jarang kasih kabar?" Vania melirik Bi Nur di sela memastikan minyak goreng.
"Katanya sibuk Non, pria itu juga bicara pada Bibi kalau Gea dan ibunya dalam kondisi baik." Jelas Bi Nur, membuat Vania mengangguk.
Ibu dari dua anak itu lalu memasukkan beberapa potong ayam ke dalam minyak. "Saya rasa mereka tidak bohong Bi, tapi kalau kejadiannya masih berlanjut sampai satu minggu ke depan... menurut saya, Bibi ngga salah mendatangi tempat tinggal ibunya Gea."
Bi Nur mengangguk. Dia juga punya pemikiran yang sama dengan Vania. Kemudian tidak ada yang bicara lagi, mereka sibuk dengan masakan. Wanita yang seharusnya istirahat di usia tua harus banting tulang untuk hidupnya dan cucunya.
Wanita tua itu merasa sangat beruntung bisa bekerja dengan Vania. Saat pertama kali mengenal ibunya Varo, dia tak begitu suka karna Vania terlalu mengurusi hidup orang lain. Tapi setelah di paling pikir-pikir wajar Vania melakukan itu selain karna seorang guru mereka juga tetangga.
Rumah Bi Nur hanya berjarak dua rumah dari sini. Mungkin dari banyaknya rumah di Kota kecil ini, hanya rumahnya yang paling jelek. Bi Nur mendapatkan rumah itu dari pemerintah dan masih seperti itu sampai sekarang.
Beberapa orang yang tinggal di sini juga mendapatkan hal itu, tapi kebanyakan mereka sudah merenovasi sehingga membuat rumahnya semakin besar.
"Bi tolong ambil piring," ucap Vania membuyarkan lamunan Bi Nur.
Wanita tua itu melangkah menuju rakyat piring yang ada di sudut dan kembali mendekati Vania. "Apa Den Varo ngga bosan makan ayak terus ya Non?"
"Vania tertawa kecil. "Kayaknya enggak Bi, asalkan ada ayamnya anak itu pasti lahap makannya."
Bi Nur menggangguk setuju. "Heran, padahal yang di makan setiap hari ayam dengan olahan yang berbeda. Kalau saya jadi Den Varo, saya lebih suka makan tumis kangkung Non. Itu sudah bikin saya kenyang."
"Hm.. Seandainya Varo bisa kayak kita ya Bi, pasti saya sudah bersujud syukur. Tapi kenyataannya? Tidak. Anak itu kalau ngga ada ayamnya pasti ngga mau makan." Vania menghela nafas kasar. Dia mengingat betapa gilanya putranya pada semua jenis olahan ayam.
Bi Nur ikut tertawa juga. "Eh Non, campur untuk ayamnya apa??"
"Oh, astaga, saya hampir lupa." Vania meringis. "Bi, tolong ambil tempe di dalam kulkas. Kebetulan sudah saya potong."
"Cuma itu aja Non? Menurut saya pakai tahu juga enak," saran Bi Nur.
"Boleh juga Bi, sekalian ambil di dalam kulkas ya." Balas Vania lalu meringis karna minyak panas.
Bi Nur melakukan apa yang Vania minta. Dia sebenarnya juga sudah menganggap ibu dari satu anak itu adalah anak kandungnya, tapi tak pernah mengatakannya karna sadar dirinya tak layak.
"Makasih Bi." Vania melirik Bi Nur. "Karna sekarang saya masak banyak, jadi Bibi harus makan di sini juga!"
"Saya-"
"Saya tidak terima penolakan Bi," potong Vania tanpa menatap Bi Nur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati (SELESAI)
ChickLitVania, janda beranak satu yang memilih meninggalkan suaminya dari pada harus di madu karna kata orang kalau dia wanita mandul. Kini dia hidup dengan bahagia bersama putranya tanpa adanya banyang-banyang masa lalu jauh dari ibu kota Jakarta. Mencari...