Dua

46.1K 2.4K 9
                                    

Vania memarkirkan motornya tidak jauh dari gerbang sekolah. Sebagai ibu yang baik, Vania ikut mengantarkan Varo sampai koridor sekolah dasar meski sering kali putranya itu menolak, tapi dia tidak pernah mendengarkan apa yang di inginkan Varo.

Sekolah dasar tempat Vania menyekolahkan putranya memiliki dua lantai dengan lantai yang di atas itu khusus di isi oleh kelas empat, lima, enam dan ruang kepala sekolah.

"Pagi Bu Vania," sapa seseorang sambil tersenyum, membuat Vania membalas senyumnya itu.

"Pagi juga Mbak Nadia." Vania membalas setelah berhenti melangkah. "Baru antar Ara ya Mbak? Eh, mana Bima?"

"Di rumah Bu, dia masih tidur jadi enggak tega membangunkannya." Balas Nadia. "Maaf Bu, saya ngga bisa lama-lama bicara soalnya kalau Bima bangun orang pertama yang di carinya adalah saya."

"Eh, iya, Mbak. Enggak papa." Vania memberikan senyum terbaiknya pada Nadia yang berjalan meninggalkannya.

"Ara itu jahat loh, Ma." Ucap Varo begitu mereka sudah melangkah menuju kelas. "Dia anak perempuan, tapi suka usil ke anak perempuan bahkan anak laki-laki juga."

"Usil seperti apa?" tanya Vania ingin tahu.

"Dia suka nyari masalah terus dia enggak mau minta maaf. Ara maunya orang itu yang minta maaf padahal enggak salah," cerita Varo kesal. "Dulu pernah teman Varo yang di ganggu terus kami berantam dan dia bilang kalau aku anak.."

Varo tiba-tiba saja terdiam dan hal itu membuat Vania mengerutkan kening heran. "Anak apa?"

"Enggak papa Ma," ucap Varo cepat bersamaan dia melihat salah satu teman sekelas." Ma, sampai aja, itu ada teman aku. Eza tunggu!"

Vania hanya bisa berhenti melangkah lalu menatap putranya yang menghilang di balik dinding dengan heran.

***

Pria itu mengumpat karna mobil yang di kendarainya tiba-tiba saja mogok di jalan dan sialnya hari ini adalah hari Senin, di mana tidak boleh ada guru yang terlambat tanpa alasan yang jelas atau akan mendapatkan poin untuk sesama guru.

Raja turun dari mobil untuk mencari tumpangan pada murid yang membawa kendaraan sendiri, ojek dan apa pun itu yang pasti satu tujuan dengannya. Beberapa menit Raja menunggu, tapi tidak ada satu pun orang yang di kenalnya lewat di jalan ini. Terbesit di pikiran Raja apa jalan ini benar jalan menuju sekolah? Pasalnya Raja tidak terlalu hafal jalan di kota tempatnya mengajar selama satu tahun ini.

Pria itu mondar-mandir di depan mobilnya, sesekali Raja berdiri di tengah jalan yang mulai sepi. Dia melihat dari kejauhan ada atau tidaknya kendaraan yang lewat dan kalaupun ada paling motor yang di tumpangi dua orang. Jadi tidak mungkin kan jika Raja menumpang? Mau duduk di mana dirinya nanti? Di ban sepeda motor?

Raja sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya dan mendengus kasar menyadari kalau setengah jam lagi tamat sudah nama baiknya.

Walaupun Raja seorang guru, Raja juga tidak mau terlambat berangkat ke sekolah, bukan guru itu adalah cerminan murid? Melihat guru yang terlambat masuk membuat murid juga ikut terlambat masuk. Dia juga tidak mau makan gaji buta walau tanpa gaji itu ia tak akan jatuh miskin, tapi sekali lagi nama baik yang selama ini ia jaga akan hancur hanya karna terlambat.

"Pak Wira kenapa berdiri di sini? Mobilnya kenapa? Mogok?" tanya seseorang yang baru saja turun dari mobilnya. Kemudian menghampiri Raja yang berdiri di tepi jalan.

Raja memang mengenal perempuan satu-satunya yang memanggil dia dengan sebutan 'Pak Wira' hanya bisa memutar bola matanya malas, lalu menatap perempuan yang berprofesi yang sama dengannya.

"Iya" balas Raja dengan malas.

"Bareng aku aja yuk!" ajak, Zara, salah satu guru yang langsung dapat galengan dari Raja. "Yakin ngga mau bareng? Jalan ini jarang lho di lalui anak sekolah kita."

"Enggak usah, saya menunggu tumpangan dari orang lain-"

"Tapi aku serius Pak." Zara memberikan tatapan yang sesuai dengan ucapannya. "Jalan ini jarang di lalui anak sekolah karna sepi dan sering terjadi begal, jadi mereka lebih memilih jalan lain yang lebih jauh."

Raja tidak menjawab sebelum akhirnya dia menggeleng karna tak ingin berada di satu mobil yang sama dengan Zara. Dia tak ingin saat di sekolah timbul gosip lain yang membuatnya semakin tidak nyaman.

"Bapak yakin? Padahal saya hanya ingin membantu sekaligus mengantarkan Clara ke sekolah," ucap Zara bernada kecewa.

Raja kembali berpikir, dia tidak mungkin mempertahankan egonya hanya karna agak risi saat di dekati Zara dan mengabaikan anak didiknya di sekolah.

Dia kemudian menatap Zara dan menghela nafas kasar. "Baiklah."

"Serius?" tanya Zara memastikan dengan mata berbinar, membuat Raja mengangguk. "Yes, tapi kamu yang nyetir ya.."

Raja mengangguk dan membiarkan Zara berjalan lebih dulu mendekati mobil. Dia merogoh saku untuk menghubungi orang bengkel yang di percayanya.

"Nanti saya akan kirim alamatnya, kalian harus secepatnya datang, iya, saya tutup dulu." Kata Raja lalu mematikan sambungannya. Dia melangkah mendekati mobil Zara dan duduk di kursi kemudi.

"Kamu sudah menghubungi bengkel kan? Soalnya tempat ini rawan," ungkap Zara begitu Raja selesai memasang sabuk pengaman.

"Sudah, sekitar lima menit lagi mereka akan sampai."

Zara menghela nafas lega, dia baru bisa tenang mendengar perkataan Raja. Diam-diam Zara sering ambil ke sempatkan untuk menatap Raja lebih lama lagi. Seandainya setiap hari kayak gini ucapnya dalam hati.

"Tante, dia siapa?" tanya seseorang yang membuat Zara hampir lupa dengan keberadaannya.

"Oh dia..." Zara terdiam, dia menatap keponakan dan Raja bergantian. "Om Raja."

Gadis yang duduk di kelas dua sekolah Dasar itu mengangguk dan tidak bicara lagi. Sedangkan Zara menghela nafas karna Clara tak akan buka suara lagi.

Kalau di pikir-pikir karakter Clara dan Raja hampir sama. Dua orang yang sangat di sayangi Zara dalam versi yang berbeda itu tak banyak bicara tidak seperti dirinya, kakak laki-lakinya dan ibunya Clara.

"Zara, Clara sekolahnya di mana?" tanya Raja sambil melirik Zara, lalu menghela nafas saat mendapati gadis itu sedang melamun. "Ra, Clara sekolahnya di mana?"

"Tante, Om itu tanya!" ucap Clara berteriak, membuat Zara tersentak dan berbalik untuk menatap sang keponakan dengan kesal.

"Jangan teriak-teriak Clara, Tante-"

"Bohong, dari tadi Tante melamun." Balas Clara tak mau kalah. "Buktinya saat Om itu panggil Tante enggak dengar."

"Kamu bicara sama aku?" tanya Clara cepat sedikit tak percaya, membuat Raja menganggukkan kepala.

"Iya, saya mau tanya di mana sekolah Clara." Sahut Raja datar, membuat Zara meringis malu.

"Hm.. itu, kamu lurus aja terus nanti aku akan kasih tahu."

Raja mengangguk tanpa mau melirik Zara lagi. Dia tidak peduli dengan segala perkataan dari wanita itu yang pasti dia harus segera sampai ke sekolah.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang