Tiga Puluh Empat

15.7K 1.1K 148
                                    


"Apa saya boleh masuk?"



Vania menatap wanita itu tidak percaya lalu mendengus. Dia memberi jalan dan membiarkan tamu tidak di undang itu masuk.



"Maaf, tapi rumah saya tidak sebagus rumah Anda." Vania duduk di sofa kosong menatap wanita itu tidak suka. "Mau minum apa?"



"Ngga perlu repot," tolak Winda. Matanya masih menatap sekeliling rumah, ada beberapa foto di dinding serta di atas meja, bunga hias, peralatan lengkap dan juga bersih.



Segala hal yang ada di rumah ini mengingatkan Winda pada kenangan beberapa tahun yang lalu. Diam-diam dia merasa isi pada Vania yang bisa hidup dengan bahagia setelah lepas dari Rio.



"Ada perlu apa ke sini? Kalau bisa bicaranya cepat ya, soalnya saya mau bekerja." Ungkap Vania tidak ramah.



Winda terseyum tipis, ada banyak hal yang membedakan mereka yaitu Vania lulusan kuliah sementara dirinya hanya sampai sekolah menengah pertama. Andai keuangannya bagus maka dia tak perlu hidup seperti ini.



"Saya ingin minta maaf," ucap Winda sambil menunduk. "Saya sadar tidak termaafkan, tapi selama beberapa tahun ini hidup susah tidak pernah tenang. Sekali lagi saya-"



"Saya bahagia mendengarnya," ungkap Vania tanpa ragu dengan terus menatap Winda. "Ternyata bukan cuma Rio yang menderita, kamu juga. Tapi bagaimana dengan wanita itu? Mantan mertuaku? Apakah belum merasa bersalah?"



Winda tidak mengatakan apapun dengan membiarkan Vania mengatakan semua kenyataannya. Jika di tanya apa dia menyesal telah datang ke sini? Jawabannya tidak.



Mendatangi Vania sudah lama di pikirkannya, tapi karna tak tahu keberadaannya selama ini maka dia menahan keinginannya dalam hati.



Sebagai seorang wanita bersuami Vania pantas memakinya dengan tajam bahkan memukulnya, tapi yang wanita itu lakukan adalah hanya diam dari beberapa menit yang lalu.



Winda mengumpulkan keberanian untuk mengangkat kepala. "Saya pantas di kasarin, tapi... kenapa tidak melakukannya Mbak?"



"Sangat pantas," sahut Vania. "Tapi itu sudah berlalu dan saya sudah bahagia dengan hidup saat ini."



"Kamu wanita yang baik," ucap Winda tanpa berpikir panjang. Pantas suamiku dan Mas Raja mencintaimu lanjutnya dalam hati.



"Saya ngga sebaik itu, buktinya tadi saya berbicara kasar padamu."



Winda menggeleng. "Saya pantas mendapatkannya."



Vania tersenyum kecil padahal di dalam hati sudah muak dengan kehadiran Winda. Dia belum memaafkan wanita di depannya, tapi semakin lama menyimpan dendam tidak akan membuat hidupnya bahagia.



Raja banyak mengajarkan Vania untuk belajar menerima masa lalu. Jangan membuang waktu untuk menyimpan dendam karna akan menyiksa diri sendiri.



"Hmm.. apa kamu masih lama ada di sini? Maaf sebelum, tapi saya ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."



"Mau ke sekolah ya Mbak? Maaf-maaf, karna saya Mbak terlambat." Winda buru-buru bangkit dari duduknya dengan menatap Vania tidak enak.



Vania lagi-lagi tersenyum kecil dan melangkah keluar dari rumah. Dia terpaksa harus berjalan bersama dengan Winda yang masih bicara seolah mereka dekat.



"Oh ya, Varo mana Mbak?" tanya Winda, membuat gerakan Vania memasang helm terhenti.



"Varo ada di luar kota, menjadi wakil sekolah mengikuti lomba gambar." Ucapan Vania setelah diam cukup lama. Dia merasa tidak perlu ada yang di sembunyikan lagi karna Winda pasti sudah tahu.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang