Dua Puluh Delapan

13K 954 39
                                    

"Ma, aku kangen papa." Arinda mengadu lagi setelah beberapa hari lupa karna sakit.



"Mama sudah bilang kalo papa lagi sibuk" sahut Winda lalu mencicipi masakannya.



"Tapi aku kangen." Arinda terus merengek yang membuat Winda sebenarnya tidak tega, tapi untuk kali ini dia tatap ingin egois. "Ma, ayolah."



"Papa pasti pulang." Winda mematikan api kompornya lalu fokus pada Arinda. "Setelah semua urusannya selesai, jadi kamu sabar sedikit ya."



"Tapi itu kapan Ma? Apakah masih lama? Padahal Papa udah mau sebulan perginya."



Winda terdiam dengan tak mungkin memberi harapan palsu pada Arinda, tapi melihat wajah memelas di sertai mata yang berkaca-kaca anak itu setiap harinya membuat Winda tidak tega.



"Gimana kalau Arin aja yang menyusul Papa ke sana?" Ratih tiba-tiba saja bicara, membuat perhatian ibu dan anak itu beralih. "Sekaligus jalan-jalan."



"Nenek benar Ma," ucap Arinda dengan binar di matanya. "Kita juga bisa jal-"



"Mama sibuk Arin."



"Kamu sibuk apa sih Winda?" Ratih menatap menantunya remeh. "Perasaan pekerjaan kamu cuma masak, jangan Arinda dan main ponsel. Sementara saya di luar setiap hari dan pulang hampir tengah malam."



Winda menatap Ratih dengan marah karna sudah mempermalukannya di depan sang anak. Dia tidak akan marah kalau wanita mengatakan itu di saat mereka hanya berdua, tapi tidak untuk kali ini. Harga dirinya jatuh di depan anaknya sendiri.



"Jangan marah Winda, saya hanya mengatakan kenyataannya." Ratih tertawa kecil, lalu mengalihkan pandangan pada Arinda. "Kamu jangan menyerah ya kalau mau jalan-jalan."



Arinda mengangguk dengan semangat. "Oke, Nenek!"



Sementara itu Winda menghela nafas kasar karna tidak suka dengan cara yang di gunakan Ratih yang sedang bermain dengan Arinda. Dia berpikir setelah wanita itu pergi maka putrinya akan merengek padanya lagi.



Tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, Winda memutuskan untuk memindahkan masakannya ke dalam mangkok. Sebenarnya tugas itu bisa di lakukan oleh asisten rumah tangga, tapi karna di rumah dia tak punya pekerjaan selain merawat putrinya jadi Winda mengambil alih.



"Win, kita perlu bicara." Ratih mengatakan itu tepat setelah Winda menutup lemari tempat penyimpanan makanan. "Saya sudah bilang pada Arin dan dia setuju."



Winda menatap kepergian Ratih dan putrinya tanpa kata. Dia menghela nafas kasar. Rasanya tinggal dan jadi orang kaya yang sebenarnya tidaklah seenak ada di dalam bayangannya dulu dan dia menyesal telah setuju dengan keputusan Ratih.



Setelah berdiri di dapur cukup lama akhirnya Winda melangkah menuju tangga, tapi tiba-tiba dia berhenti saat sudut matanya melihat Ratih ada di sofa lantai satu.



"Ke sini!" panggilnya.



"Arin mana Ma?" tanya Winda pertama kali setelah duduk.



"Dia ada di atas," sahut Ratih tidak ramah. "Saya sudah membeli tiket-"



"Ma, untuk kali ini saya, aku ingin menyelamatkan harga diriku." Sela Winda dengan berani.



"Harga diri?" Ratih tersenyum meremehkan Winda. "Saya tidak meminta kamu untuk memohon, tapi memaksanya pulang."



Winda mengerutkan alis. "Saya tetap tidak mau."



"Kamu harus mau kalau tidak kamu boleh meninggalkan rumah ini." Ratih tak akan mempertahankan seseorang yang tidak menurut padanya lagi.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang