Tujuh Belas

18.1K 1.1K 15
                                    

"Menurutku dia itu bodoh, hanya karna wanita lain dia ceraikan istrinya." balas seorang guru dengan suara kecil takut kalau ada murid yang duduk di meja tak jauh dari mendengar gosip ini.

"Kalau ngga salah bentar lagi istrinya mau melahirkan ya? Dia kok jahat banget ceraikan istrinya saat lagi hamil." Guru wanita yang duduk di depan Vania menimpali dengan tatapan tak percaya.

"Itulah hebatnya wanita perebut suami orang." Vania menimpali setelah diam cukup lama. "Pria itu juga bodoh mau-mau saja memilih orang lain padahal istrinya lagi hamil."

Ke tiga guru wanita ada di meja yang sama dengan Vania mengangguk setuju. "Mulai sekarang saya akan menjaga suami dengan baik, ngga boleh terlalu sering dekat dengan wanita." Ucap salah satu guru membuat semuanya tertawa.

Gosip-gosip itu terus berlanjut dengan sesekali memakan sarapan. Meski seorang pendidik, tapi kebiasaan perempuan yang suka menggosip tak bisa lepas dari pembicaraan sehari-hari mereka hal yang sama juga terjadi Vania.

Dengan suara kecil pembicaraan itu terus berlangsung sampai akhirnya Vania selesai lebih dulu dan tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Bu, saya ke kantor dulu ada janji dengan orang tua murid."

Setelah melihat ke tiganya mengangguk, Vania meninggalkan kantin. Dalam satu minggu pasti ada dua atau tiga murid bermasalah yang di panggil orang tuanya. Tak jarang Vania meminta agar populasi anak nakal menghilang dari bumi supaya tugasnya tidak ada lagi.

Namun, dia juga sadar kalau hal itu tak mungkin bisa terjadi. Karna Vania sadar kalau di umur seperti ini anak itu masih mencari jati dirinya.

"Selamat siang, Pak, Bu." Vania duduk di kursinya lalu terseyum pada kedua orang tua murid di depannya. "Silakan duduk!"

Vania membuka buku hitam miliknya dan memperlihatkan catatan kenakalan yang sudah anak mereka lakukan. Sebagai seorang ibu, dia sebenarnya tak tega tapi kalau terus di biarkan maka anak itu tak akan bisa berubah.

"Padahal dari rumah putra kami pergi ke sekolah, Bu. Di rumah dia juga anak yang baik dan tak banyak bicara." Wanita yang di taksir baru berusia tiga puluh delapan tahun itu menatap Vania tidak percaya.

"Semua yang ada di catatan itu tidak ada yang di rekayasa, Bu." Vania tersenyum maklum. "Anak ibu memang melakukan apa yang ada di sana."

"Ini pasti salah." Pria itu menutup bukunya dengan kasar. "Dari rumah pakainya selalu rapi, dia juga mengerjakan tugas dari sekolah setiap kami mengeceknya di kamar. Tapi kok bisa dia cabut sebanyak ini? Ngga bikin tugas dan ngga pakai pakaian lengkap? Anda mau membohongi saya?"

Vania menggeleng dengan tetap mempertahankan senyumnya. Bukan sekali dua kali dia mendapatkan kemarahan seperti ini setiap kali pertama orang tua murid di panggil. "Pak, saya tidak mungkin-"

"Bu, jangan pernah main-main dengan saya!" potong, ayah murid bermasalah, Rian. "Saya bisa menuntut sekolah ini dengan pasal-"

"Pak gimana kalau kita bertemu dengan anaknya dulu?" Vania terpaksa menghentikan perkataan pria di depannya dan buru mengeluarkan ponsel. "Apa Bapak dan ibu setuju?"

"Baiklah," ucap pria yang kini sedang di tenangkan istrinya.

Vania membuka ponsel untuk menghubungi guru yang sedang mengajar di kelasnya Rian. "Bu Citra, bisa pinjam Riannya sebentar?"

"Rian ngga ada di kelas, Bu."

"Hah, dia ngga di kelas?" Vania mengalihkan pandangan pada kedua orang tua muridnya. "Oh iya, Bu. Maaf sudah mengganggu waktunya."

Vania mematikan sambungan telepon, dia hendak menutup aplikasi warna hijau tapi urung di lakukannya melihat pesan dari Raja.

"Putra kami tidak ada di kelasnya Bu?" tanya ibunya Rian, membuat Vania mengalihkan perhatian. "Pa, kenapa Rian bisa kayak gitu? Putra kita anak yang baik."

"Aku yakin kalau ada yang mempengaruhinya di sini dan Papa akan mencari orang itu sampai ketemu."

Vania hanya menghela nafas kasar karna harus meyakinkan kedua orang tua murid yang tampaknya seperti orang yang cukup terpandang di sini.

***

"Maaf ya Mas, kemarin saya ngga membalas pesannya."

Raja yang masih di sekolah sedang duduk di kantor bersama guru lain dengan refleks berdiri. Dia tersenyum sambil berjalan keluar dari sana. "Ngga papa. Oh ya, gimana kondisi kamu?"

"Alhamdulillah baik."

"Siang Pak."

Pria itu tersenyum membalas sapaan dari sesama guru dengan terus melangkah menuju tempat sepi. Dia berhenti di belakang sekolah dengan pandangannya menuju lurus pada murid yang sedang bermain bola kaki.

"Varo.. masih marah pada saya?" Raja meringis membayangkan tatapan yang di layangkan anak itu padanya beberapa hari yang lalu.

"Sepertinya udah tidak. Hmm.. Mas, lagi ngajar?"

"Ngga, kenapa?" Raja masih tersenyum karna membayangkan wajah Vania.

"Cuma mau tanya aja, saya ngga mau menganggu-"

"Ngga ganggu," sela Raja cepat dan setelahnya tak ada yang bicara.

Pria berkulit kuning langsat dan memakai pakaian khas guru itu gemas ingin memulai pembicaraan lebih dulu, tapi dia mau mantan sahabatnya bicara lebih dulu. Dengan ponsel di telinga mata Raja fokus melihat murid yang berteriak senang karna berhasil memasukkan bola ke dalam gawang.

Jarak lapangan bola ada jauh di bawah tangga, beberapa murid perempuan berteriak untuk menyemangati pertandingan antar kelas yang membuat Raja diam-diam membayangkan masa lalu.

"Hmm.. Mas saya mau berterima kasih untuk waktu itu."

"Kamu kayak ngomong sama siapa aja," sahut Raja. "Saya ikhlas membantumu, Nia."

"Sebagai ucapan terima kasih, malam ini saya mau ajak Mas Raja untuk makan malam di rumah."

Raja ingin berteriak mendengar perkataan Vania di balik telepon, tapi tak mungkin dia melakukan itu karna malu. Dia hanya berdeham sambil menahan senyumannya.

"Malam ini ya? Hmm... sepertinya bisa." Balasnya.

"Oke, kalau gitu saya tutup dulu ya Mas, soalnya masih banyak kerja. Hmm.. sampai bertemu nanti malam."

Setelah itu panggilan langsung di tutup membuat perasaannya luar biasa bahagia. Kalau bukan di sekolah, Raja sudah pasti berteriak karna akhirnya hubungan mereka ada sedikit kemajuan.

"Pak, wajahnya merah. Ayo... sudah telepon dengan Bu Zara ya?" Goda salah satu murid laki-laki, membuat Raja menatapnya penuh peringatan.

"Bukan urusan kamu, sana kembali ke kelas!"

"Sekarang jam olah raga Pak, jadi kami harus ada di lapangan bukan di kelas." Balas anak kelas dua belas itu. "Pak, jadi benar-"

"Mau saya kurangi nilai kamu?" ancam Raja, membuat murid itu melotot tak percaya.

"Astaga, Pak, jangan ancam pakai nilai. Oke, saya pergi, tapi jangan kurangi nilai saya."

Raja mendengus dan menggeleng begitu Rangga, murid itu, melangkah menjauh. Anak itu memang asik dan suka bercanda dengan siapa pun, tapi kurangnya dia tidak cerdas.

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang