Tiga Puluh Enam

16.9K 1K 56
                                    

"Arin kayaknya suka dengan Varo, tapi tidak dengan Winda."



"Jangan cemaskan dia, asal masih baik dan peduli dengan Varo maka tidak perlu di pikirkan."



"Tapi bagaimana kalau nanti dia menyakiti Varo?" tanya Vania tidak tenang. "Dua hari lalu kami membuat kesepakatan kalau setiap libur sekolah Varo tinggal dengan mereka."



"Selagi Rio dan aku masih hidup, maka tidak akan ada yang menyakiti Varo." Janji Raja. "Tapi kamu juga ngga boleh lupa kalau setelah ujian kenaikan kelas Varo kita akan pindah."



Vania menghela nafas lalu mengangguk. Kini mereka ada di perjalanan pulang tanpa ada Varo yang kembali melanjutkan belajarnya. Di perayaan ulang tahun kecil-kecilan tadi sangat membahagiakan untuknya juga Varo.



Meski menolak, tapi putranya itu terlihat bahagia karna untuk pertama kali bisa merayakan ulang tahun bersama ayahnya.



"Kenapa ya tidak dari dulu saja aku mempertemukan Rio dengan Varo?" Pandangan Vania lurus ke kaca. "Kenapa juga aku ketakutan kalau pria itu akan mengambil putraku?"



"Kamu menyesal terus mau kembali dengan pria itu?"



Vania dengan cepat menatap Raja dan mendengus. "Dalam mimpi pun aku tidak ingin kembali dengannya. Lagian dia udah punya istri dan anak."



"Kirain mau balik ke dia lagi soalnya-"



"Jangan bahas masa lalu lagi, Mas. Aku ngga suka," sela Vania. "Lagian dia udah bahagia, aku juga bahagia dengan kamu, jadi ngga usah ingat-ingat lagi."



Raja melirik Vania sebentar lalu kembali fokus ke jalan. Niatnya hanya bercanda, tapi tak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu.



Dia tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar pengakuan langsung dari wanita itu kalau bahagia bersamanya.



"Kamu kenapa senyum-senyum dari tadi?"



"Ayo, kita menikah Nia." Ajak Raja tepat setelah lampu merah, tanpa aba-aba memajukan wajah dan mengecup bibir wanita itu. "Aku serius!"



"Ayo, tapi tidak di sini dan tidak dalam bulan ini."



"Serius?"



Vania mengangguk, membuat Raja sedikit berteriak. "Sepulangnya mengantar kamu juga dari sekolah, aku akan cerita pada Mama kalau lamaranku di terima."



"Kamu udah cerita sama Mama?" tanya Vania kaget.



"Iya, bahkan semua yang kita rencanakan sama Rio juga udah aku ceritakan." Ungkap Raja, membuat Vania melongo.



"Jangan bercanda, Mas. Aku bahkan ngga tahu gimana caranya untuk nunjukin wajah ke Mama kamu setelah pergi gitu aja."



Raja mengerutkan kening. "Kenapa harus bingung? Mama ngga-"



"Aku juga takut kalau Mama kamu ternyata ngga suka sama aku seperti..." Vania tidak melajukan perkataannya karna suara klakson kendaraan. "Jalan Mas."



Tanpa di minta Raja melajukan mobilnya dengan sesekali melirik Vania. "Mamaku bukan Tante Ratih, Nia." Ucap Raja setelah diam cukup lama.



"Dia pasti menerima kamu sama seperti dulu. Oh, bukannya kamu lebih dulu mengenal Mamaku dari pada Tante Ratih? Aku ingat dulu kalian sangat dekat," lanjutnya.



Vania mengangguk. "Iya, tapi orang berubah seiring berjalannya waktu dan akan-"



"Berubah kearah yang lebih baik, bukan buruk." Potong Raja tepat setelah mobilnya sampai di depan rumah Vania. "Aku ngga bisa mampir karna harus kembali ke sekolah."



"Kamu udah bilang itu tadi." Vania melempar senyum pada Raja yang membalasnya. "Kamu jangan ngebut."



***



"Parah lo, Ja. Anak Vania ulang tahun ngga ajak gue!" Amar protes pada Raja setelah kantor di isi oleh beberapa orang saja.



Guru lainnya sudah masuk ke dalam kelas karna ini adalah jam belajar. Sementara Raja kebetulan piket hari ini dan Amar izin pada murid ke kantor sebentar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.



"Itu hanya acara anak-anak, Mar." Sahut Raja dengan pandangan lurus ke layar laptop.



Adiknya membuat sedikit masalah pada perusahaan mereka dan ada beberapa investor mengancam akan menarik dana mereka. Andai ayahnya tidak sakit mungkin dia bisa turun tangan untuk membujuk mereka.



"Tapi tetap aja di situ ada makan gratis, Ja! Dan gue terpaksa melewatkannya."



Raja mengalihkan pandangan pada Amar dengan malas. "Lo serius semua ini hanya karna makanan?"



"Iya," ungkapnya tanpa ragu. "Ah, orang kaya kayak lo mana tahu rasanya melewatkan-"



"Lo juga kaya kalau lupa," sela Raja. "Saking kayanya jatuhnya lo itu pelit."



"Gue ngga pelit, Ja." Ucap Amar tidak terima. "Lo tahu sendirilah, bulan depan gue mau nikah dan itu biayanya ngga main-main. Setelah nikah, kami akan tinggal di rumah sendiri dan punya anak. Lo tahu ngga, Ja? Setelah gue hitung-hitung biaya kami nanti selama satu ta-"



"Udah pelit, perhitungan lagi," sela Raja cepat. "Heran, kok ada wanita yang mau sama lo ya Mar?"



Amar menatap sahabatnya yang bermulut pedas itu tidak suka. "Kalau udah jodoh, mau seburuk apapun pasti akan di terima. Tapi gue masih mending ada Kinan dan bentar lagi kami akan menikah. Lah lo sendiri kapan?"



"Ngga akan lama lagi," ungkap Raja dengan senyum kecil.



"Memang Vania udah benar-benar lupa sama masa lalunya?" tanya Amar, membuat Raja mengangguk. "Lo yakin?"



"Sangat, apa lagi dia pelan-pelan memaafkan masa lalunya." Raja terseyum kecil. "Dia adalah wanita terhebat kedua yang pernah gue kenal, Mar. Gue ngga nyesel menunggu Vania selama bertahun-tahun."



Raja terus memuji Vania hingga melupakan pekerjaannya. Dia tidak peduli dengan pendapat kalau beberapa guru yang ada di kantor.



Sementara Raja bercerita, Amar mulai bosan. Sudah dua puluh menit berlalu dan Raja hanya membanggakan anak dan ibu itu seperti di dunia ini hanya mereka berdua pusat hidup Raja.



Awalnya Amar masih maklum dengan cerita Raja karna dulu dia mungkin juga sepeti itu. Tapi lama-lama pria itu juga malu sebab menjadi perhatian beberapa rekan di kantor dan salah satunya adalah Zara.



Wanita itu sepertinya mendengar sebagian perkataan Raja dan terlihat seperti orang sakit hati. Dia menyenggol kaki sahabatnya, membuatnya berhenti bercerita.



"Gue mau balik ke kelas Ja, mereka udah lama di tinggal, ngga tahu deh ributnya kayak gimana." Ungkap Amar.



"Kenapa baru bilang sekarang? Sana lo pergi," usir Raja.



Amar hendak bangkit dari kursi meninggalkan kantor, tapi urung di lakukannya. Kemudian, Amar bicara dengan pelan pada Raja. "Ja, mendingan lo bicara berdua aama Zara deh sebelum membuka lembaran baru."



Belum sempat sahabatnya buka suara, Amar lebih dulu bangkit dan berjalan meninggalkan kantor. Dia menoleh pada Zara yang membuang wajah, terlihat kalau wanita itu membuka lembaran buruk di mejanya.



Raja berpikir kenapa dia harus menyelesaikan masalah dengan Zara? Karna pada kenyataannya mereka tidak pernah terlibat masalah.



Tentang perasaan Zara, itu bukan salahnya karna dari awal Raja sudah menolaknya tapi wanita itu masih keras kepala. Bukan berarti Raja jahat, dia hanya tegas dengan perasaan dan pilihannya sejak dulu.




Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang