Empat

37.8K 2.2K 14
                                    

"Lo ngomong apa barusan?" tanya Raja pada sepupunya di balik telepon.

"Besok gue mau ke rumah lo soalnya di sini makin memuakkan."

Raja sedang fokus dengan tulisan di dalam layar laptop akhirnya menutup benda itu. Dia memijit keningnya pelan. "Jangan gila lagi Yo dan jangan di biasakan kalau ads masalah lo lari dari rumah."

"Gue ngga lagi Ja, tapi gue lagi nenangin diri dan gue-"

"Lo kira bisa membohongi gue? Kita udah kenal dari kecil dan gue tahu baik buruknya elo!" Raja melepas kaca matanya yang tiba-tiba terasa berat. "Sekarang pasti masalahnya enggak jauh dari istri dan ibu lo kan?"

"Lo pikir apa lagi kalau bukan mereka." Pria di balik telepon terdengar menghela nafas kasar. "Gue capek Ja, benar-benar capek. Mama egois dan Winda... dia enggak mau mengalah. Seandainya mantan-"

"Itu karma buat lo," ungkap Raja tanpa ragu. "Lagian, itu adalah wanita pilihan elo juga Tante, jadi lo harus terima segala konsekuensinya."

"Lo bisa ngga sih sekali saja buat enggak salahin gue? Paling tidak lo jangan bilang itu di depan-"

"Gue ngga munafik Yo, gue ngga suka bicara di belakang, gue lebih suka bicara di depan orangnya langsung." Raja berduri dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan kerja.

"Tapi sekali aja, lo ngertiin gue. Coba kalau elo di posisi gue pastinya-"

"Gue ngga akan lepasin orang yang tulus dengan alasan apapun Yo, bahkan gue rela di usir dari rumah kalau menurut gue wanita itu yang terbaik." Raja dengan ponsel di dekat telinga mendaratkan bokong di ranjangnya.

"Lo bisa ngomong gitu karna lo ngga jadi gue Yo, elo mah enak punya saudara kandung yang bisa gantiin lo. Lah gue? Anak satu-satunya sekaligus jadi harapan Mama."

"Nah karna jadi harapan Tante, harusnya lo ngga egois dengan pergi dari rumah. Lo harus bertahan di sana sekaligus jaga pernikahan lo," ucap Raja.

"Bicara tentang pernikahan, lo kapan nikah sih Ja? Sampai saat ini gue heran, apa alasan lo menolak banyak wanita?"

"Sialan!" umpan Raja, terdengar suara tawa Rio di balik telepon. "Apapun alasannya bukan urusan lo!"

"Santai Bro, tenang juga sabar. Hmm.. Ja, Tante Nadia sering cerita ke gue kalau dia udah pengen cucu."

"Sialan lo Yo, benar-benar sialan! Lo niatnya cuma curhat makanya telepon gue, tapi kenapa sekarang jadi omongin gue?" Raja tak bisa menahan emosinya. "Kalau tahu akhirnya begini, nyesel gue angkat telepon lo!"

"Gue cuma bercanda Ja, jadi jangan pakai urat." Rio berucap di ujung sana di sertai dengan tawa yang belum berhenti. "Lagian.. itu pembalasan buat lo yang enggak bela gue."

"Lo ngga pantas di bela," ungkap Raja tanpa ragu.

"Kalau saja lo orang lain dan kita ngga akrab, sudah dari dulu gue hajar lo Ja! Heran, cowok kok mulutnya kasar banget. Ah, gue tahu alasan wanita menolak lo itu karna-"

"Rio sialan!" setelah mengatakan itu Raja mematikan sambungannya secara sepihak. Benar-benar sepupu ngga punya otak ucapnya dalam hati.

Raja menghela nafas kasar dan mencoba mengatur emosinya sebelum memutuskan untuk berbaring di ranjang. Saat akan memejamkan mata bayangan wanita sedang terseyum langsung ada di kepalanya dan tanpa sadar membuatnya melebarkan kedua sudut di pipinya.

"Lo ngga boleh ada di sini Yo, ngga boleh setidaknya sebelum nyali gue kuat buat bertemu dia." Ucapnya dengan suara pelan.

***

Sebelum pulang ke rumah, Vania menyempatkan diri untuk pergi ke supermarket yang ada di Ibu Kota. Dia membeli keperluan dapur yang harganya sedikit lebih murah dari pada di pasar atau di toko kecil di dekat rumahnya.

"Terima kasih," ucap kasir supermarket setelah menerima enam lembar uang merah dari Vania yang tersenyum tipis.

Ibu dari satu orang anak itu membawa dua plastik besar yang berisi belanjaannya keluar dan mengantungnya ke motor.

"Lelahnya," keluhnya lalu memakai helm.

Sebelum meninggalkan area supermarket Vania menolehkan kepala ke belakang, ke pintu supermarket, sambil mengerutkan kening bingung. "Kok kayak ada yang lihatin ya. Ah, jangan geer Nia, mana ada sih orang kurang kerjaan yang lihatin kamu."

Vania menggelengkan kepala dan mengendarai motor meninggalkan kawasan supermarket. Sesekali dia melihat jam yang menunjukkan angka lima sore dengan harapan agar putranya tidak marah mengetahuinya telat sampai rumah.

Perjalanan yang di tempuh Vania dari Ibu kota ke tempat tinggalnya iyalah satu jam. Dia tiba di rumah tepat pukul lima lewat tiga puluh dan di sambut oleh Varo yang menunggunya di depan pintu rumah.

"Kok malah duduk di sini sih?" tanya Vania pura-pura tidak tahu setelah membuka helm. "Ayo, masuk ke dalam, ini udah sore. Mama juga beliin kamu-"

"Kok lama banget di Kotanya?" tanya Varo tanpa mau beranjak dari duduknya. "Ngapain aja tadi di sana?"

"Ke supermarket sama di Bank yang antreannya panjang." Vania sedang berdiri sambil memegang dua plastik besarnya dan satu plastik kecil. "Jangan duduk di situ, Mama mau lewat."

Varo mendengus lalu berdiri dan membiarkan Vania masuk ke dalam rumah. Dia masih kesal tapi tak bisa juga lewatkan makanan yang di belikan oleh sang Mama nanti, jadi anak laki-laki itu melangkah dengan malas ke dapur.

"Apa itu?" tanya Varo dengan tidak semangat pada plastik kecil di atas meja.

"Itu Donat kesukaan kamu," balas Vania tanpa menatap putranya. "Oh ya, Bi Nur mana?"

"Baru aja pulang setelah kasih tahu aku kalau dia melihat motor Mama," ungkap Varo tanpa sadar sambil memakan donatnya. "Eh, enggak Varo salah ngomong."

"Salah ngomong?" Vania meninggalkan rutinitasnya mengeluarkan belanjaan dari plastik untuk menatap Varo.

Varo mengangguk. "Iya, ini semua buat aku kan? Kalau gitu aku mau ke dalam kamar dulu."

Vania masih terdiam dengan terus menatap putranya heran sampai akhirnya dia menghela nafas kasar menyadari kalau Bi Nur di minta anak itu untuk melihat motornya dari gerbang kecil mereka.

"Anak itu sekali saja apa tidak bisa tidak merepotkan orang?" Vania menggeleng. "Jadi dia baru duduk di sana, tapi bersikap seolah udah lama menunggunya."

Tak ingin memikirkan hal itu terlalu lama, Vania kembali melanjutkan pekerjaannya dan meletakkannya di atas meja. Setelah itu dia melangkah pantri dan menyimpan ke dalam lemari sesuai dengan yang di belinya.

Setelah semua pekerjaannya selesai, Vania duduk di kursi meja makan. Dia membuka tas dan mengambil buku rekeningnya.

"Uang penjualan rumah itu tak akan cukup sampai Varo kuliah," ucapnya cemas. "Mana semua kebutuhan sekarang mahal lagi, aku bahkan ngga yakin uang ini masih ada sampai Sekolah Menengah Atas Varo."

Pilihan Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang