Raja kembali datang ke sana, rumah seorang wanita menjadi alasannya ada di Kota ini. Dia hanya melihat dari jauh tanpa berani untuk menghampiri wanita itu.
Dia sadar kalau tindakan yang di lakukannya dulu pengecut pergi di hari bahagia wanita itu Raja masih ingat dia tiba-tiba saja berhenti kuliah yang menjadi cita-citanya sejak lama, lalu menerima keinginan ayahnya dengan syarat kalau dia tak ingin kuliah di Jakarta.
"Mau sampai kapan gue terus seperti ini?" Raja menghela nafas kasar. "Semuanya tak akan berubah kalau masih jadi pengecut, tapi gue juga ngga mungkin muncul tiba-tiba nantinya dia malah kaget dan ngga mau lihat gue lagi."
Raja terus memandangi rumah itu hingga tiba-tiba saja ponselnya berbunyi yang ternyata dari ayahnya.
"Kamu udah lihat dokumen yang Papa kirim? Bagaimana menurutmu?" tanya ayahnya di balik telepon.
"Dokumen?" Raja mengerutkan kening. "Oh yang tadi malam-"
"Ck, bukan yang itu! Dokumen yang Papa maksud itu baru di kirim satu jam yang lalu."
Raja meringis. "Oh, kalau gitu aku belum baca Pa."
Terdengar helaan nafas kasar di balik telepon, membuat Raja meringis sedikit bersalah. Dia sadar itu adalah kesalahannya karna sibuk memperhatikan wanita yang kini duduk di bangku sambil berkutat di depan layar laptop.
Hari ini tanggal merah dan seperti biasa yang di lakukan Raja setiap hari libur melihat wanita itu dari jauh.
"Kembali ke Jakarta Ja, bukan untuk Papa tapi Mama dan kedua adikmu."
"Nanti aku pasti pulang Pa, setelah semua urusan di sini selesai." Sahut Raja.
"Memang apa yang kamu harapkan dari wanita itu, Ja? Jangan bodoh, di sini banyak wanita yang lebih cantik dan tidak-"
"Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya dan aku tetap pada keputusanku." Sela Raja cepat. "Lagian, aku sudah menuruti keinginan Papa untuk memimpin perusahaan dan kini saatnya Papa menuruti keinginanku."
"Tapi dia wanita yang-"
"Aku tidak memeperdulikan itu, Pa. Aku menerima dia apa adanya."
Tak ada suara dari balik telepon yang hampir membuat Raja berpikir kalau Papanya menyerah, tapi ternyata tidak. Pria itu kembali mengatakan hal yang menjadi alasan terberatnya datang ke Kota ini.
"Kamu tidak kasihan pada adikmu? Dia kewalahan menangani pekerjaan sendirian sementara kamu -"
"Aku tahu dan aku tidak pernah lepas tangan untuk urusan perusahaan," sela Raja lagi. Dia tahu kalau apa yang di lakukannya ini tidak sopan, tapi untuk urusan perasaan dari dulu Raja tidak suka di atur meski kedua orang tuanya sekalipun.
"Jangan keras kepala Ja, nanti kalau kamu menyesal baru tahu rasa!"
Setidaknya aku sudah mencoba dan tidak lari dari kenyataan seperti pengecut ucap Raja dalam hati. "Masih ada tugas sekolah yang belum di periksa, Pa." Ucap Raja akhirnya, membuat pria di sebut Papa itu menghela nafas kasar.
"Ya sudah, terserah kamu."
Setelahnya sambungan itu terputus secara sepihak oleh sang papa. Raja hanya bisa menghela nafas kasar dan menyimpan ponselnya.
Dia kembali menatap rumah Vania di mana sedang bicara dengan seseorang warga sedang menunjuk mobilnya. Detik itu juga Raja sadar kalau kehadirannya memunculkan curiga bagi mereka, lalu dia menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu.
****
Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, dia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi dia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.
Vania menguap untuk yang ke sekian kali, tapi tetap memaksakan diri untuk terjaga sampai menyelesaikan bacaannya. Dia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengelola keuangannya.
Mulai dari menggaji Bi Nur sampai tambahan biaya kuliah Varo juga menjadi beberapa suntikan semangatnya. Vania menyesal dulu tak membeli rumah sederhana saja karna mungkin hasil penjualan rumah di Jakarta masih banyak tersisa.
Beberapa menit kemudian, Vania menyelesaikan bacaannya. Namun alih-alih berjalan ke ranjang, dia malah keluar dari kamar untuk mengintip Varo sudah tidur atau tidak, tak lupa dia kembali mengecek pintu serta jendela lalu kembali memasuk ke dalam kamarnya.
"Siapa ya yang punya mobil tadi?" Vania tiba-tiba saja mengingat pembicaraannya dengan tetangga di depan rumahnya. Dia mengatakan kalau sudah tiga bulan ini mobil itu di jam dan Hari tertentu berhenti di depan rumahnya.
Awalnya tetangganya, Ardi, berpikir kalau itu mobil yang kebetulan berhenti, tapi semakin lama mobil itu malah membuatnya curiga. Vani sangat bersyukur berada di lingkungan yang baik dan hal itu membuatnya merasa tidak salah memilih tempat tinggal.
"Aku ngga boleh memikirkan itu lagi," ucap Vania. "Kata Mas Ardi, dia tak akan ke sini lagi. Semoga saja."
***
Setelah memastikan mamanya sudah pergi bersamaan dengan pintu yang tertutup, Varo membuka matanya kembali. Dia turun dari ranjang dan melangkah mendekati meja belajar lalu meraih tasnya.
Anak itu menatap surat yang harusnya di berikan pada sang Mama, tapi sampai detik ini benda itu masih ada di dalam tas. "Aku ngga kau bikin Mama sedih, tapi aku juga mau ikut."
Varo menghela narasumber kasar dan mengingatkan perkataan guru kelasnya beberapa hari lalu. "Selamat ya Varo terpilih untuk mengikuti lomba menggambar tinggal sekolah dasar dan nanti Varo ikut ibu ke kantor, saya ada kejutan untukmu."
Anak itu mengeluarkan peralatan gambar yang di berikan guru. Dia yakin kalau Vania pasti bahagia mendengar dia memenangkan perlombaan lagi. Tapi pasti tidak akan memberikan izin untuk mengikuti loba lainnya di kota Jakarta.
Kini Varo pusing karna hari untuk memberikan surat izinnya semakin dekat. Varo tidak yakin kalau Vania tidak akan memberikan izin pergi dengan alasan yang tak tahu olehnya.
Varo kembali ke kamar dan membenarkan posisi tidur yang menurutnya paling ternyaman. Tidur menyamping, menghadap foto sang papa yang masih balut seragam sekolah putih abu-abu dan di foto itu sang papa sedang tersenyum lebar adalah posisi paling di sukanya.
Sampai kemudian Varo tersenyum sedih. "Kenapa ya Pa, Mama enggak kasih izin buat pergi? Padahal di sana juga ada guru yang menjaga. Mama juga ngga mau di ajak pergi bersama karna banyak pekerjaan."
Varo menghela nafas kasar. "Varo tahu kalau Mama khawatir, tapi kan Pa, Varo bukan anak jahat. Hmm.. pa, kalau papa ada di sini sama Varo, apa Papa melarang aku seperti itu?"
" Mama sayang aku, kalau Papa bagaimana?" tanya Varo sambil menatap bingkai foto yang selalu di sembunyikan dari Vania. "Papa pasti sayang juga kan? Tapi kenapa belum pulang sih? Kerjanya juga kenapa lama banget? Varo rindu."
Varo terus bicara sendiri sampai perlahan kelopak mata itu tertutup dengan bibir sedikit terbuka hingga beberapa menit kemudian terdengar dengkuran halus dari Varo menandakan bahwa dirinya sudah terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati (SELESAI)
ChickLitVania, janda beranak satu yang memilih meninggalkan suaminya dari pada harus di madu karna kata orang kalau dia wanita mandul. Kini dia hidup dengan bahagia bersama putranya tanpa adanya banyang-banyang masa lalu jauh dari ibu kota Jakarta. Mencari...