Flashback"Safa jangan banyak gerak nanti kita jatuh,nak!" Tegur nenek kepadaku ketika aku sedang digandeng dengan sepeda waktu masih kanak-kanak. Aku sering kali tertawa jika nenek khawatir dengan tingkahku yang menakutkan.
"Jangan khawatir,nek. Safa kan memegang pundak nenek erat-erat jadi gak akan jatuh." Candaku dengan nenek di waktu itu.
SAFA'S POV
Hal yang tak mungkin aku lupa adalah pertama, ketika nenek mengepang rambutku sebelum berangkat ke sekolah. Perlu kamu tahu saat aku masih kanak-kanak aku dan Sifa tidak hidup bersama. Aku tinggal dengan nenek sedang Sifa tinggal dengan kedua orang tuaku.
Kedua, dengan sepeda ini nenek selalu mengajakku keliling kampung untuk mencari barang rongsokan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kamu mengira aku sangat benci dengan kehidupanku. Kamu salah bahkan aku merasa jika aku anak yang paling beruntung berada di samping nenek. Namun, menginjak usia 8 tahun, nenek telah meninggalkanku. Otomatis, aku tak akan mendapat keberuntungan itu lagi. Ia hanya berpesan sepeda itu harus ku simpan baik-baik karena hanya itu kenangan nenek selama hidup di dunia. Tak mungkin aku merusak kenanganku bersama nenek."Tak kulihat lagi wajah basahmu yang bagaikan air yang tak kunjung reda. Semangatmu yang tak pernah henti engkau gelorakan kini hanya tinggal sorakan tak bernyawa."
###
"Love is about sincerity. That's why I freed you to look for happiness besides me. Because I know waiting for something uncertain is boring. I also realize that your answer is not just about me. Let me learn to love you by giving it a way before feeling disappointed comes upon us"
Kemarin Hanifan membuat janji kepadaku agar aku dan dia bersama menuju ke sekolah. Oleh karena itu Sifa berangkat lebih dulu menuju sekolah dibanding aku. Jam menunjukkan 7 menit sebelum pukul 07.00 namun Hanifan belum juga tiba di rumah. Semenit kemudian, aku mendengar suara ketukan pintu yang membuatku keluar untuk mengecek tamu yang datang ke rumah dan mungkin saja ia adalah Hanifan.
"Assalamu'alaikum." Pria itu 3 kali mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam." Aku menjawab salam dari pria itu. Aku membuka pintu seolah masih tak percaya. Kutatap mata itu tanpa kedipan lalu kucubit-cubit tanganku dengan cubitan kecil. Rasanya benar sakit. Ah, ini bukanlah mimpi sekiranya sedari tadi telah kutunggu kehadiran Hanifan. Darimana dia mengetahui alamat rumahku? Aku baru melihatnya 2 kali namun, aku tak pernah memberi tahunya perihal diriku apalagi tempat tinggalku.
"Hey." Dia menghentikan lamunanku.
"Mm?" Aku langsung tersadar dari lamunanku akibat sapaan pertamanya.
"Kita bareng ke sekolah yah." Dia langsung menawarkanku tanpa basa-basi.
"Tapiii." Aku masih seperti kebingungan karena kedatangannya yang tiba-tiba.
"Apakah kamu tidak menghargai kedatangan ku yang jauh-jauh kesini?" Dia menjelaskan ulang dan aku masih berpikir panjang. "Boleh kan?" Dia bertanya lagi.
"I-i-iya." Jawabku secara spontan.
"Oke kalau begitu kita berangkat sekarang, soalnya udah mau jam 7 noh." Dia mendesakku dan menarik tanganku untuk cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya.
Hah? Aku berangkat ke sekolah dengan dia yang punya mobil mewah. Ini tak pernah terbayangkan. Di perjalanan aku merasakan angin yang begitu alami di pagi hari membuat hatiku sejuk. Sesejuk embun pagi. Kulihat lagi wajahnya yang sedang menyetir mobil. Tak salah lagi dia adalah cowok kemarin yang telah merusak sepedaku.
"Kenapa sih, daritadi nge-liatin aku terus." Dia menegurku.
"Gak papa kok." Jawabku tak tahu.
"Aku sengaja menjemput kamu, aku kan orang yang bertanggung jawab kok. Secara sepedamu belum selesai diperbaiki." Dia menjelaskan padaku alasan kedatangannya ketika di perjalanan.
Kenapa yah mulut ini sangat sulit untuk menanyakan "Dimana kamu mendapatkan alamat rumahku? Terlalu lama berpikir untuk bertanya atau tidak. Akhirnya aku tak kunjung bertanya hingga memasuki gerbang sekolah. Sesampainya di sana, kamu tahu tidak apa yang terjadi? Semua siswa menatap heboh diriku yang bersama "dia" ke sekolah. Jujur, menjadi pusat perhatian di sekolah sungguh tak mengenakkan. Aku tak kuasa menatap tiap mata yang ada di sekelilingku. Dia yang membukakan pintu mobil untukku, meyakinkan siswa layaknya kami sedang berpacaran.
"Safa." Hanifan menyapaku sedangkan pria itu melihat Hanifan yang ingin berbicara padaku 4 mata saja dan dia langsung menjauh dari tempatku berada.
"Eh, Nif. Sorry yah. Dia lebih dulu datang ke rumah. Gak enak kalau menolak." Aku merasa bersalah kepada Hanifan. Aku memperlihatkan ekspresi tubuh yang penuh penyesalan.
"Iya gak papa kok." Kata Hanifan dengan lunglai, sedikit kecewa. Kedengaran dari nada ucapannya.
"Saf!. Jika kamu mau tahu aku tidak suka kamu bersama dia." Sepertinya Hanifan amat serius dengan apa yang dikatakannya.Aku tidak mengerti dengan maksud Hanifan. Apakah dia ingin melarangku berkawan dengan orang lain selain dia? Jika benar adanya sama saja dia ingin memenjarakanku.
CLARA'S POV
"Ini adalah peringatan ke-2 untukmu, Safa. Sebentar lagi, loe akan tahu akibatnya." Aku dendam kepadanya semenjak aku melihat dirinya diperebutkan oleh 2 lelaki hebat di SMA Pelita.
AUTHOR'S POV
"Clar, kita gak boleh berbuat jahat kepada orang lain." Wilda menyambungkan ucapan dari Clara yang berada di pundak Clara.
VOTE AND COMMENT
🔜
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Teen Fiction"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...