"Ibu dapat informasi dari guru bahasa Indonesia mu bahwa saat jam mata pelajarannya kamu malah meninggalkan kelas. Betulkah seperti itu?" Bu Atikah bertanya.Tanpa rasa ragu Hanifan menjawab dengan tegas ia berkata iya bu. Kukatakan bahwa ini adalah hal yang sangat wajar jika Hanifan bersifat terbuka kepada bu Atikah. Bu Atikah adalah guru yang lemah lembut. Sudah selayaknya ia ditempatkan menjadi guru BK.
Bu Atikah sedikit memberikan pencerahan kepada Hanifan. Bu Atikah menawarkan Hanifan agar men-sharing keadaannya sekarang. Hanifanpun mulai menceritakan. Dia mengatakan bahwa saat ini dia sangat bingung dengan perasaannya.
Ada sesuatu yang menjanggal di hatinya sehingga ia tak dapat bertahan lama berada di kelas. Kemungkinan ia khawatir dengan Safa. Iya, aku. Hanifan tak tahu keberadaanku sekarang.
Bu Atikah paham dengan perasaan Hanifan dan mencoba membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah tertanam dalam di otak Hanifan.
"Oh ya. Safa dan Sifa sudah 2 bulan tak membayar spp dan menurut bu kepala sekolah mereka memang harus dituntut melunasi iuran tersebut." Bu Atikah menjawab alasan mengapa Safa dan Sifa tidak masuk sekolah.
"Seperti itukah, bu?" Tanya Hanifan antusias.
"I-ya ibu serius. Emangnya ibu kelihatan bohong?" Jawab ibu Atikah mengangguk.
"Nggak sih bu." Jawab Hanifan terkekeh pelan.
Setelahnya Hanifan berjanji kepada bu Atikah jika dia tak akan berbuat kesalahan lagi. Sekarang Hanifan tak lagi memikirkan tentang keberadaan si kembar tapi dia memikirkan cara melunasi iuran sekolah si kembar. Sepulang sekolah Hanifan memeriksa celengan yang sudah dia tabung selama se-bulan. Hanifan memang anak orang kaya.
Jangan salah kalau Hanifan adalah manusia yang terbiasa hidup mandiri dan orang tua Hanifanpun tak pernah memanjakan Hanifan. Satu demi satu Hanifan menghitungnya dan sampai hitungan terakhir ia bernafas lega karena uangnya cukup membayar iuran si kembar. Tepat Rp 2,000,000,00.
Dia rela mengorbankan demi kebaikan si kembar Walau sebenarnya uang itu dia tabung untuk persiapan kuliah di luar negri. Dan keesokan harinya Hanifan memberi uang itu kepada bu Maria.
Hanifan meminta kepada bu Maria agar si kembar tak boleh tahu perihal yang membayar iuran sekolahnya karna ia yakin kembar akan sangat marah jika mengetahui hal ini. All hasil bu Maria telah menerima uang itu dan menyepakati perjanjian. Bu Maria segera membagi kabar bahagia ini kepada si kembar.
SAFA'S POV
Saat itu aku baru saja selesai menyiram tanaman di depan halaman majikanku. Eh tiba-tiba Sifa datang dengan wajah yang ceria. Akupun ikut tersenyum.
Sudah jelas kedatangannya membawa kebahagiaan untukku. Dia semakin mendekat dan kemudian menggenggam kedua tanganku dan memaksaku untuk berputar-putar mengelilingi ember di tengahnya.
"Aku punya kabar gembira saat ini." Kata Sifa, kembaranku sangat bahagia.
"Apa itu? Aku sudah menduganya."
Tadi pagi di lapangan Tanah Abang lagi ada acara seminar. Nah, dari acara tersebut ada 500-an botol plastic yang dipersiapkan untuk acara itu. Setelah acara itu, panitianya bilang kalau botol itu sudah tak terpakai lagi.
Jadi, aku minta izin deh ke panitia untuk mengambil semua botol plastic dan panitianya mengizinkan. Sebelumnya aku udah dapat 200 botol plastik + 500 botol = 700-an lebih. Setelah semua ditimbang, penimbangnya ngasih uang Rp 500,000,00. Karena aku pemecah rekornya.
Kami bersyukur karna tabungan kami sekarang sudah mencapai Rp 1,000,000,00. Tersisa se-juta lagi. Meskipun harus menunggu sebulan lagi. Tak apalah yang jelas kami telah berusaha.
Kami sadar kami telah ketinggalan pelajaran setelah sebulan tak mengikuti proses belajar. Namun di sela-sela kesibukan kami, kerap kali kami mencuri-curi waktu untuk belajar di kesunyian orang bahkan sampai larut malam.
Kami tahu ini sangat melelahkan bagi kami. Beruntungnya bu Maria sangat memaklumi kami. Berselang kemudian hp komunikater kami berdering.
Ternyata bu Maria menghubungi kami. Kami tak dapat membayangkan mungkin saja bu Maria telah habis tenaga menghadapi kami. Kesenangan kami yang baru sedetik tadi menghilang karna rasa ketakutan di depan mata. Sifa, kembaranku mengangkat telfon itu.
TBC,
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Teen Fiction"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...