"Ha-loo. Assalamu'alaikum, bu. Ada apa ya?" Kata Sifa gugup dan berbicara tanpa basa-basi."Ibu mau memberi tahu kalau mulai besok.
Ucapan bu Maria terhenti di situ. Kami menebak jika kelanjutannya mulai besok kami tidak diperbolehkan masuk di sekolah itu lagi. Lagi-lagi sangat menyayat hati kami. Kami terdiam dalam telponan itu.
"Mulai besok kalian masuk sekolah. Masalah iuran tak usah kalian pikirkan lagi." Ucap bu Maria dengan ketegasannya yang sudah biasa.
Tut..tut..tut.. –ObrolanSelesai-
SIFA'S POV
Aku cukup terkaget dengan keputusan bu Maria. Aku sempat bertanya siapa yang telah membayar spp kami? Ah aku tak mau kege-eran kayak begini mungkin saja bu Maria mengasihi kami. Jadi dia mau membantu kami sedikit. Sudahlah.
"Besok kita sekolah kembali."
Kami ber-barengan mengucapkan kata itu sambil bertatapan muka. Sungguh, masih tak menyangka. Kalau begitu kami tak usah melanjutkan kontrak kami jadi pembantu di rumah ini dan uang ini akan kami serahkan pada orang tua kami.
SAFA'S POV
"Yah neng Safa kenapa atuh gak mau kerja lagi di sini? Apa Mbok Ratih punya salah sama, neng?" Tanya Mbok Ratih kepadaku saat di dapur.
"Mbok Ratih gak salah apa-apa kok." Jawabku sambil merangkul Mbok Ratih.
"Berarti Mbok Ratih tinggal sendiri lagi dong, gak ada yang nemenin cerita-cerita gitu."
Nampaknya mbok Ratih bersedih saat aku akan meninggalkan rumah itu. Sebulan itu memang cukup singkat.
Tapi bisa saja waktu itu terasa lama bagi orang-orang yang menikmati setiap harinya. Mbok Ratih mengakui jika selama ini kehadiranku membuatnya menjadi tidak kesepian lagi. Akupun akan berjanji pada mbok Ratih akan kembali menjenguknya jika aku ada kesempatan. Pastinya.
"Mbok senang kalau kalian sekolah kembali. Orang tua kalian pasti sangat bangga jika tahu usaha kalian seperti ini." Mbok Ratih memuji kerja keras kami.
"In Syaa Allah, mbok."
"Mbok do'akan suatu saat nanti kalian sukses dan bisa membahagiakan orang tua kalian." Kata Mbok Ratih.
"Aamiin." Jawabku penuh harap agar suatu saat do'a dari mbok Ratih terdengar hingga lapisan langit ke tujuh sampai Allahpun lengah mendengar keinginanku dan akhirnya mengabulkannya.
Saat aku keluar dari pintu dapur aku melihat cowok nyebelin itu mengintip obrolanku. Tak terasa sudah sebulan aku menghabiskan sebagian hariku bersama cowok ini. Sama sekali tak ada moment indah yang kulalui bersamanya.
Yang dia lakukan kepadaku hanya mengacuhkan diriku saja setiap hari di depannya. Ya aku yakin dia tak akan membeberkan ini kepada siapapun. Aku tak tahu alasannya mengapa ia bersikap dingin kepadaku.
Namun mungkin saja dia hanya kehabisan topic pembicaraan jadi gengsi untuk menemaniku bicara. Inginku hanya melihatnya sekilas saja tapi dia mencoba menghentikan langkahku.
"Kok kontraknya cepat banget?" Tanya Agata.
Pertanyaannya kelihatan sangat serius tapi ekspresinya kok biasa-biasa saja. Sungguh, dia memang cowok yang gak jelas. Dia memang ganteng tapi aku yakin pasti pacarnya sangat ilfeel jika bersama dengannya.
"Ini bukan urusanmu." Aku menjawab dan meninggalkannya.
"Jika bukan urusanku lalu apa urusanmu bekerja di sini?" Tanyanya saat ku berjalan meninggalkannya. Aku tak mau berbalik badan untuk menjawab pertanyaan yang menurutku tidak begitu penting. Walaupun sejenak aku sempat menghentikan langkahku tapi akhirnya aku melanjutkan kembali langkahku.
TBC,

KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Teen Fiction"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...