2,5 jam lamanya kami diperjalanan dan akhirnya kami tiba di tempat karantina. Sudah ada Hanifan di sana bersama dengan Pipit secara mereka adalah teman sekelompok. Agata menurunkan koperku dari bagasi mobilnya. Hanifan datang untuk mengantar koper Sifa masuk ke dalam kamar yang telah disediakan untuk kami.Sedangkan Agata mengantarkan koperku dan kopernya. Kamipun masuk ke dalam rumah karantina dan mencari nomor kamar kami sesuai dengan nama kami. Nomor kamar 7 menjadi tempat tinggalku dengan Sifa selama sebulan.
Dalam satu kamar dihuni oleh 3 orang wanita dan satu wanita lain yang bersama dengan kami yaitu Pipit. Sedangkan nomor kamar 1 menjadi tempat tinggal Agata bersama dengan anggota se-groupnya.
Setelah menyimpan barang kami di masing-masing kamar, kami bergegas untuk keluar ke rumah karantina untuk mencari udara di luar sana, aku dan Agata. Kami menuju ke perkebunan yang ada 15 m dari rumah karantina. Kami berdua duduk di dataran tinggi yang ada di perkebunan itu dan melentangkan kaki kami. Kami menghirup udara di sana yang sangat segar. Begitu nyata terasa impian kita.
"Hahaha." Tiba-tiba aku tertawa sendirian di tengah keheningan yang ada.
"Ih. Orang gila. Ketawa tanpa sebab." Agata terkekeh pelan karena aku yang tidak jelas.
"Aku itu menertawakan kamu goblok!" Kataku padanya. Ketawaku sebab mengingat tingkah Agata beberapa hari yang lalu yang takut dengan ketinggian."
"Alhamdulillah. Berarti aku lucu di mata kamu." Katanya sambil mengelus dada.
"Beh kege-eran banget jadi cowok." Kataku padanya yang tak mengerti alasanku tertawa.
"Kege-eran bagaimana bawel?" Agata bertanya padaku sambil menarik batang hidungku dengan nada suara yang sepertinya gemas dengan tingkahku. "Sah sah saja sih kalau aku kege-eran di depanmu." Agata berkata padaku setelah selesai menarik hidungku.
Aku menyandarkan kepalaku di bahu Agata untuk menikmati pemandangan di depan sana yang mampu menerangkan mata.
"Kamu lihat gak yang terbang di atas?" Agata bertanya dengan menunjukkan arah yang dimaksudnya.
"Iya kenapa?" aku menanyakan tentang hal yang terjadi pada yang ia tunjuk.
"Yang di depan itu selalu berada di depan. Kemanapun ia pergi rekan-rekannya selalu ikut. Kamu tahu nggak kenapa?" Agata bertanya lagi.
"Karna dia setia. Hehehe." Kataku sambil terkekeh pelan.
"Jika ada di antara mereka sampai salah jalur artinya ia sama dengan pengkhianat." Agata melanjutkan ucapannya.
"Kira-kira kamu setia nggak sama aku Agata?" Aku bertanya padanya yang tengah membahas tentang kesetiaan. Aku menyelesaikan sandaran kepalaku di bahunya sebab menunggu jawabannya dan menatap matanya dalam-dalam.
"Dengar ya bawel! Aku gak akan menjelaskan 2 kali." Katanya padaku dengan menatapku dalam-dalam juga.
"Sejauh ini aku belum menemukan alasan agar bisa menjauh darimu dan aku tak mau menerima alasan dari siapapun dan apapun yang akan membuatmu jauh dariku." Agata berkata padaku dengan pelan dan suara yang amat menyentuh hatiku.
"Makasih ya Agata." Kataku padanya atas jawabannya dan aku tersenyum dan merangkulnya.
"Perhatian kepada 20 murid SMA Pelita agar dapat berkumpul di lapangan depan rumah karantina. Makasih " Itu adalah suara dari Pembina yang akan melatih kami selama sebulan.
"Agata balik yuk itu panggilan dari pak Natsir." Aku dan Agata berlari dengan cepat menuju lapangan. Sesampainya di lapangan aku dan Agata berbeda barisan sebab cabang olahragaku berbeda dengan cabang olahraganya.
"Istirahat di tempat gerak!" Pak Natsir memerintah yang berdiri di hadapan 20 murid. "Anak-anakku, pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat datang di tempat kalian berjuang. Sesuai dengan harapan saya dari awal, saya tidak ingin kalian mengecewakan saya! Mengerti?"
"Mengerti, pak!" Semua murid menyahut.
"Saya selaku Pembina kalian dan orang yang bertanggungjawab atas kalian, meminta kalian untuk menjaga sikap di lingkungan ini. Jangan membuat nama sekolah kita tercemar dan saya memohon dengan sangat kepada kalian untuk menjaga kebersihan lingkungan ini. Mengerti?" Pak Natsir melanjutkan ucapanya.
"Mengerti pak!" Semua murid menyahut lagi.
"Oke kalian bisa bubar dan beristirahat karena mulai besok pagi akan dimulai proses latihan." Perintah terakhir dari pak Natsir. Semua muridpun meninggalkan lapangan. Akupun begitu. Aku kembali ke kamar. Namun ternyata di kamar belum ada Sifa dan Pipit.
Hanya aku di kamar itu. Aku langsung naik ke ranjang bersusun paling atas. Saat aku naik, aku melihat sebuah foto yang terselip di resleting tas Pipit. Aku mengambilnya sebab tidak ada Pipit di sini. Foto ini dihuni oleh manusia.
Manusia itu adalah Hanifan dan Pipit. Foto ini adalah foto mereka saat duduk di bangku SMP sebab dari baju yang mereka pakai berwarna putih dan rok berwarna navi. Ternyata mereka sudah dekat sejak SMP namun aku tidak pernah mendengar Hanifan menceritakan tentang Pipit padahal sudah banyak yang ia ceritakan padaku. Seharusnya Pipit juga berada dalam ceritanya.
"Safa!" Sifa mengetuk pintu kamar dan aku meletakkan kembali foto itu ke dalam tas Pipit lalu membukakan pintu untuk Sifa.
"Lama banget sih Saf. Aku sudah kebelet nih." Sifa berkata di tengah terbukanya pintu sementara aku diam memikirkan tentang Pipit dan Hanifan. Sifa langsung masuk ke wc.
"Aku penasaran dengan cerita Pipit dan Hanifan. Apa aku bertanya sama Ppipit aja kali ya?" kataku dalam hati di depan pintu yang terbuka. "Iya aku harus simpan foto itu dulu." Aku berbicara sendiri.
Saat Pipit telah masuk ke dalam kamar, aku melihatnya sedang mencari sesuatu sampai-sampai tasnya dibuat berantakan.
"Kamu mencari ini ya?" aku bertanya padanya dan menunjukkan foto itu.
"Iya darimana kamu menemukan ini?" Dia langsung merampasnya dari tanganku.
"Bisa nggak kamu menceritakan tentang foto itu?" Aku bertanya padanya dan mengharap jawaban darinya namun dia hanya terdiam dan membelakangi diriku yang sedang berbicara.
"Hanifan adalah teman masa kecilku." Dia akan menjawab dengan perlahan-lahan.
Flashback
Pipit mendengar pagar rumahnya berbunyi pertanda Hanifan sudah ada di depan rumahnya dengan membawa sepeda kesayangannya. Pipitpun keluar ke rumahnya seketika mendengar kedatangan Hanifan dengan membawa boneka Winnie the pooh nya.
Pipit diajak oleh Hanifan keliling perumahan dengan naik sepeda. Hampir setiap hari. Sampai-sampai Pipit sering tidak fokus dalam belajar karena sudah terbiasa dengan permainan. Akhirnya di kelas peringkat Pipit menurun. Semenjak saat itu Pipit dilarang bermain lagi dengan Hanifan.
Jika Hanifan datang ke rumahnya, pintu rumahnya dikunci oleh mamanya membuat Pipit tidak dapat bermain dengan Hanifan saat itu. Pipitpun menangis karena dikurung oleh mamanya. Pipit menemukan sebuah ide supaya bisa bertemu dengan Hanifan. Pipit membuka jendela kamarnya dan memanggil Hanifan.
"Hanif1" Hanifanpun menuju ke depan jendela kamar Pipit dan memberikan Pipit bunga melati berwarna putih.
"Ini buat kamu, Pit. Kamu jangan menangis lagi ya!" Hanifan ingin menghentikan tangisan Pipit.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Teen Fiction"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...