"Dyan, menurut kamu hidup ini ibarat apa?" Pipit bertanya."Mmm". Dyandra berhenti sejenak, hanya untuk membuat Pipit penasaran akan jawabannya.
"Layaknya permen karet yang awalnya manis lama-kelamaan rasanya akan menghilang. Kamu tahu nggak kenapa?" Dyandra menjawab untuk menambah jawaban lagi.
"Nggak. Emangnya kenapa?" Pipit dibuat berpikir panjang oleh Dyandra.
"Karena keseringan ditelan rasanya." Dyandra tertawa sampai-sampai menarik pandangan Hanifan yang merasa kepo akan kejadian hebohnya manusia yang duduk di meja sebelah.
"Hahaha.. ada-ada saja kamu, Dyan. Tapi.. kalau dipikir-pikir kamu ada benernya juga sih." Pipit merasa jawaban dari Dyandra selaras dengan kehidupan yang Pipit alami.
"Iya dong." Pipit menjawab dengan berbesar hati.
Mungkin memang benar dulu saat kita sering bersama ada yang berbeda kurasakan. Sebuah rasa yang tiba-tiba muncul tanpa pernah kupaksa. Kamu tak akan tahu tentang rasa ini karena hanya aku yang terbawa perasaan. Aku dapat melihat satu ketulusan di matamu yang tak sempat bertahan. Aku benar diam "diam" melihat segala tingkahmu dengan mereka. Cemburu? Iya, terkadang aku cemburu. Namun, karena kucinta aku akan pasrah.
...
Bel berbunyi tanda waktu belajar telah usai. Semua siswa berlomba keluar kelas. Aku dan Sifa pun begitu. Tetapi saat kami telah di gerbang sekolah, sebuah motor besar menghampiri kami. Tak lain dan tak bukan ia adalah Hanifan. Sementara Hanifan membuka helmnya.
"Safa, pulang bareng yuk?" Lagi-lagi Hanifan mengajakku.
SAFA'S POV
Ada baiknya jika aku pulang ke rumah bersamanya sebab aku harus cepat-cepat pulang ke rumah. Kepalaku yang masih pusing, tak mungkin aku biarkan diriku berlama-lama di jalanan. Aku ingin menolong maksud baiknya, nanti dia mengira aku tak menghargai kebaikannya. Lagi pula, menolak kebaikan itu tidak baik. Tapi, aku sangat keberatan dengan Sifa. Manamungkin aku meninggalkannya.
"Sifa gimana?" Pertanyaanku menyinggung Sifa.
"Gakpapa, biar aku pulang sendiri aja. Mending kamu dijemput sama Hanifan biar lebih aman." Kata Sifa mengharuskan. Sifa benar-benar saudara kandungku yang paling mengerti diriku.
"Ya udah, kalau begitu. Kamu hati-hati ya Sifa!" Pesanku pada Sifa saat motor Hanifan melaju.
"Iya, kalian juga."
...
Motor Hanifan terhenti di sebuah taman. Padahal, rumahku masih jauh di depan sana. Aku tak menduga Hanifan akan membawaku ke sini. Aku juga heran kenapa dia mengantarku ke sini bukan mengantarku untuk pulang ke rumah.
"Nif, kamu mau temuin siapa?" Tanyaku amat penasaran setelah turun dari motor Hanifan.
"Gak ada kok." Hanifan terlihat tidak jelas.
Apalah Hanifan ini sudah tahu kepalaku masih pusing aku malah dibawa ke tempat ini. Kutawarkan diriku untuk pulang sendiri namun dia menahan langkahku. Bagaimana juga aku bisa pulang apabila sopir angkutan di sore hari sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.
"Kalau di rumahkan, kamu juga Cuma di kamar, kamu kan tahu? Itu juga akan membuat kepalamu semakin sakit. Sekarang, aku sehat-sehat saja tapi kalau di rumah terus kepalaku bakalan pusing juga." Sepertinya Hanifan ingin menghiburku.
Tak biasanya aku dijadikan seperti ini. Seperti seorang putri yang harus diberi dengan pemberian surprise. Berbagai hadiah yang katanya tidak diketahui sebelumnya. Lalu, Hanifan menyuruhku menutup mata dan menuntun langkahku menuju ke tengah-tengah taman. Saat ia menyuruhku membuka mata sebuah balon berbentuk hati melayang dihadapanku. Senyuman kecil terlintas di wajahku.
"Senang dengan balon, bukan?" Hanifan bertanya seperti tak tahu jawabannya.
Kalimat dari Hanifan membuatku mengingat satu hal yang menurutku indah dalam hidupku. Aku menatap balon dan mengingat bahwa sejak kecil aku telah dibiasakan melihat balon. Apalagi kalau aku sakit. Sakitku akan berkurang setelah melihat balon terbang di udara. Kalau Sifa sangat jarang sakit bahkan hampir tidak pernah. Layaknya pesawat kulihat balon itu dan aku ingin seperti pesawat itu agar aku bisa melihat ke bawah dan menyadari bahwa dunia ini sangat indah. Aku tersenyum sendiri melihat balonku melayang kala itu.
"Hmm Curhat nih." Hanifan menyinggungku walaupun sebenarnya sangat mendengarkan cerita dariku.
"Eh, Sorry. Soalnya terbawa suasana." Aku kurang sadar sampai aku bercerita demikian pada Hanifan. Aku jadi malu sendiri.
"Nggak papa sih." Hanifan meyakinkan diriku untuk tidak merasa bersalah.
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di tengah-tengah taman. Mataku mengarah ke depan. Walaupun demikian di sampingku dapat kulihat bayangan yang sepertinya bayangan itu menatapku. Aku merasa gerah dan langsung menyindir Hanifan.
🔜
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Roman pour Adolescents"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...