SAFA'S POVKetika aku telah masuk ke kelas aku menyimpan tasku di meja. Lalu kuarahkan pandanganku ke jendela kelas. Apa yang terjadi? Mobil mewah berwarna putih menabrak barang berhargaku. Yang paling mengejutkan mobil itu dikendarai oleh siswa SMA Pelita. Apakah dia memiliki mata? Entahlah. Aku sadar jika matanya buta, pasti hatinya pun buta. Aku segera menuju ke sana. Aku harus bertemu dengan cowok itu. Di belakang, ada Sifa yang mengejarku dan berusaha menghentikan keterburuanku.
"Safa berhenti! Kamu belum sembuh total." Aku mendengar teriakan dari kembaranku. Kedengaran juga kalau ia ngos-ngosan mengejarku. Tapi tidak! aku harus memberi pelajaran kepada manusia yang tak punya hati.
Aku berhenti sejenak untuk mengatur pernapasan. Bukan main aku berlari menuruni tangga tanpa memulai dengan helaan nafas. Aku melihat Hanifan berada di depanku. Aku yakin ia pasti bisa membujuk Safa agar dia tidak membuat ulah. Sifa.
"Nif, Safa." Tanyaku tergesa-gesa.
"Safa kenapa?" Hanifan tidak mengerti dengan maksudku. Sepertinya dia menyuruhku menjelaskan ulang. Aku tidak punya waktu sebanyak itu. Sementara Hanifan baru saja bertemu dangan Safa tadi
"Arg.. ikut saja." Tanpa menjawab pertanyaannya aku langsung membawa Hanifan ke tempat parkiran.
Aku telah sampai ke lantai dasar. Sepedaku terlihat semakin dekat. Aku belum tega untuk melihatnya. Setelah siap, Aku melihat stir sepedaku patah akibat tabrakan serta injakan dari ban mobil cowok itu. "Sepeda gue."Aku tak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu, saat ini perasaanku sedikit tergores. Katamu ini lebay, tapi tidak denganku. Hati yang tersayat pasti akan membuat tangis yang tak dapat dibuat-buat.
"Tega banget sih loe." Aku mendorong cowok yang tak dikenal itu.
"Maksudnya?" Dia bertanya seperti tak tahu tentang apapun kesalahannya dia.
"Lihat apa yang telah loe lakukan! Loe sudah merusak sepeda gue! Loe sadar gak sih?" Aku paham bahwa orang kaya seperti dia tak akan paham dengan hal sepele karna yang dia tahu hanyalah hal penting yang dimudahkan. Tapi kamu tahu tidak? Justru hal sepele lah yang harus dipentingkan. Hal sepele itu sangat rumit didapatkan bagi yang tak menyadari dan tulusnya hal sepele adalah sepanjang masa.
"Oh itu sepeda loe? Tadi gue gak sengaja." Dia meminta maaf dengan kata-kata yang tak masuk akal.
"Apa? Gak nge-liat. Loe taukan sepeda itu juga kendaraan." Aku menyahut dengan tangisan. Bagaimana bisa dia tak melihatnya. Alasan apa yang dapat kuterima?
Aku dan Hanifan berhasil mengejar Safa. Aku melihat Safa bersedih karena sepedanya yang dirusak. Aku berusaha mendekatinya untuk menenangkan dan mengingatkannya. Namun aku lebih tahu pasti kalau dia amat menyayangi sepeda itu. Sifa.
"Sudah, Saf. Ingat jangan sampai kita kena masalah lagi.." Kata Sifa sambil memegang bahuku. Sementara Hanifan mempergoki cowok itu.
"Tanggungjawab gak loe?" Hanifan mengangkat jari telunjuknya ke arah cowok itu dan menatapnya dalam-dalam seakan ingin balas dendam.
"Santai aja kali bro." Cowok itu berkata dengan santai namun penuh dengan kejantanan dan menyingkirkan tunjukan dari Hanifan. "Gue pasti gantiin sepeda dia yang lebih bermerek dari yang itu." Dia berkata dengan angkuh.
"Apa? Gampang banget yah loe bicara seperti itu. Loe pikir sepeda gue sampahan?gitu." Aku berkata dengan tegas tak berdaya mendengar kalimatnya yang sangat menggampangkan sesuatu.
"Terus gue harus nge-lakuin apa?" Dia bertanya seolah ingin bertanggungjawab atas kesalahannya.
Aku tak sanggup melanjutkan obrolan. Safa.
Aku menuju ke cowok itu setelah kulepas bahu Safa yang sedari tadi kurangkul dan memberi solusi atas kesalahannya. Sifa.
"Tolong perbaiki sepeda ini tanpa harus kamu ubah jauh dari bentuk aslinya. Bisakan?" Tanyaku dengan lemah lembut.
"Okey bisa." Sahut cowok amat manis dan cool itu tanpa merasa suatu keberatan.
"Gue tunggu. Seminggu sepeda itu sudah harus kembali." Hanifan melanjutkan omongan dari pria itu dan mengancamnya tanpa didengar oleh siapapun selain dari mereka berdua.
VOTE AND COMMENT!!!!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Fiksi Remaja"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...