Kusimpannya tas yang kupakai ke meja makan."Kemana aja, Safa? Pulangnya kok sampai malam hari?" Mama bertanya kepadaku tanpa melihat sosokku yang sedang berada di hadapannya sebab sedang menumpahkan air hangat ke dalam sebuah gelas.
"Teman Safa ngajak jalan-jalan mah." Ketika mama bertanya aku langsung duduk di kursi meja makan.
Tiba-tiba ayah datang dan melihatku. Dia menatapku gelisah karena perban yang ada di jidatku.
"Loh-loh Safa kepala kamu kenapa pake perben-perban begini?" Ayah bertanya. Semua tatapan mengarah kepadaku. Aku terdiam sejenak sebab aku takut untuk membuat ayah gelisah. Aku ingin mencari alasan tapi tak ada alasan logis yang bisa kujadikan sebagai alasan. Akhirnya, aku memilih untuk jujur.
"Aku habis jatuh tadi, yah. Nggak sengaja." Aku tak menjelaskan pada ayah jika aku jatuh dari sepeda karena kecelakaan kecil. Aku menjawab santai. "Tapi, kepalaku udah nggak sakit lagi kok yah." Aku melanjutkan.
"Lain kali, hati-hati, ya nak." Ayah mengelus-elus kepalaku.
Tiba tiba mereka menyinggung diriku yang mungkin aku bahagia bersama Hanifan tadi sore. Aku tersenyum-senyum dengan ledekan kecil itu. Suasana menjadi hening saat ayah mengucapkan sebuah kalimat.
"Ngomong-ngomong kita semua lagi senang Safa." Ayah ingin menjelaskan kepadaku tentang kejadian yang terjadi saat aku belum pulang ke rumah.
"Senang karena apa ayah?" Tanyaku.
"Tadi sore yang punya kontrakan datang ke sini nagih uang kontrakan. Tapi ayah kan belum punya uang, pemilik rumah ini marah-marah dan mengusir kita dari rumah ini. Tiba-tiba pengantar surat datang dan memberi kita surat dari orang yang tidak dikenal. Surat itu berisi uang dan pesan kalau uang ini digunakan untuk membayar kontrakan selama beberapa bulan ke depan. Huft, Lega rasanya, nak. Bantuan datang saat waktu yang tepat. Betapa adilnya Allah. Kita harus bersyukur dan berterima kasih kepada orang itu." Rasa sedih campur haru yang ayah rasakan tergambar saat ayah sedang bercerita.
Kami menyadari bahwa hidup ini keras. Lebihkeras dari yang kubayangkan.
..........
"Tomorrow and the day after, minutes to come, I will remember the name again. A name that I have kept in my heart. The name that I always look after. Real or not at any time he will greet me again in any form. But, unfortunately it is not tied to a special relationship anymore. Only a friend from a distance. Whoever I am in your life, still you are someone who makes my wound. Every day
AUTHOR'S POV
Di pagi yang cerah ini, setiap hari senin tentu ada kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh semua sekolah dimanapun itu. Setiap senin juga nama Indonesia sering kali disangkutpautkan dalam kegiatan itu. Termasuk di sekolahku, SMA Pelita. Aku juga hadir dalam barisan yang telah ada dan mengikuti serangkaian proses ini dengan begitu hikmat.Indonesia Raya Merdeka-MerdekaTanahku, Negeriku yang kucintaIndonesia RayaMerdeka-MerdekaHiduplah Indonesia RayaSeluruh peserta upacara hormat menghadap ke tiang sang saka bendera merah putih. Semangat kelompok paduan suara dalam menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya terus berkibar. Sementara kelompok penggerek bendera perlahan-lahan menaikkan bendera senada dengan setiap ketukan nada yang diucapkan oleh pemadu suara. Namun berbeda dengan Clara dan Wilda yang berdiri di barisan paling belakang.
"Aduh, Clar. Sumpah Kaki gue keram banget. Pengen duduk sebentar aja." Gerutuk Wilda pada Clara sambil menarik-narik lengan Clara.
"Iya, gue juga nih. Gue hitung yah 1,2,3 duduk. Mumpung gak ada yang nge-liat." Kata Clara pada Wilda sambil berbisik-bisik setengah menuju telinga Wilda dan melihat keadaan di sekelilingnya. Merekapun duduk di tengah berlangsungnya upacara. Mereka lalu mengambil hp yang berada di kantong baju masing-masing. Mereka duduk sambil bermain handphone.
"OMG!!!Clara. Coba lo buka instagram @tasimport. Disitu ada postingan tas baru yang kece badai. Loe pasti ngiler deh membeli barang ini." Wilda terbirit pelan mengatakan hal itu pada Clara dalam posisinya yang sudah duduk.
"Demi kecantikan gue yang paripurna. Gue harus beli tas ini!" Clara optimis dapat membeli tas itu sambil mengipas wajahnya dengan 5 jarinya, ia berkata demikian pada Wilda.
Tak lama kemudian datanglah seorang guru yang melihat kelakuan mereka di belakang. Mereka yang sedang berbincang-bincang tak sadar jika mereka telah dilihat oleh guru. Clara merasa bahunya ditepuk oleh seseorang dan seseorang perkiraannya adalah Wilda.
"Iya deh Wil. Gue pasti beli barang ini. Ini cuma seujung jari kok buat gue." Kata Clara sambil menekan-nekan handphonenya. Mereka menoleh ke arah belakang dan memalingkan wajah dari arah tersebut. Mereka saling menatap dengan tatapan membelalak dan mulut yang dibuka lebar.
"Maju ke depan. Berbaris di dekat pembina upacara." Sahut seorang guru pada mereka dengan membelalakkan matanya yang membuat mereka gemetaran. Setelah mereka maju ke sana, Kertas bertuliskan "Saya orang gila" dipasang pada kedua leher mereka. Saat itu, kebetulan Pembina upacara sedang membawakan pidatonya dan isi pidatonya kemudian ber-alih kepada Clara dan Wilda.
"Anakku sekalian, apa yang dilakukan oleh 2 orang di samping saya tidak pantas kalian tiru. Saat bendera Indonesia dikibarkan tidak seharusnya kita abaikan. Bendera ini tidak mudah didapatkan oleh pahlawan kita. Berlumuran darah mereka untuk memperoleh bendera ini. Tugas kita hanya diperintah untuk menghormati bendera sebagai rasa cinta kepada bangsa sendiri, rasanya sangat sulit. Saya rasa pantas siswa seperti mereka diberi poster orang gila karena hanya orang gila yang tidak mengerti perjuangan." Demikian isi pidato Bu Maria dihadapan seluruh peserta upacara, terkhusus Clara dan Wilda.
🔜
![](https://img.wattpad.com/cover/185883952-288-k671314.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Teen Fiction"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...