Dengan susah payah Wilda menuntun Clara untuk melihat. Namun pada akhirnya Clara pun membuka matanya dan melihat apa yang dimaksud oleh Wilda. Mata Clara membelalak sampai tak sadar bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya."Mmm hari ini gue gak nafsu makan. Gue cemburu, Wil. Gue gak tega. Enak bener hidupnya dia." Clara curhat pada Wilda, teman setianya. Diminumnya jus Alpukat yang telah dia pesan tadi dan meminta pada Wilda: "Pulang yuk, Wil. Mata gue tiba-tiba jadi gatal gara-gara kena alergi."
SAFA'S POV
Suara melengking kudengar dari ruang luar kamarku. Berjalan dengan langkah berdesak-desakan terasa seperti orang tak sabaran. Membuat diriku ikut penasaran dengan panggilan yang tidak seperti biasanya. Apakah gerangan yang sedang terjadi? Dengan antusias aku menuju ke sumber suara, suara yang sepertinya juga mencari keberadaanku. Setelah melihatku dia tak henti-hentinya memanggilku sambil terbirit-birit.
"Safa aku menemukan ini di depan rumah. Aku kira ini buat aku. Eh, ternyata suratnya bilang ini buat Safa. Tenang aja aku belum buka kok isi suratnya." Kata Sifa di depan sofa sambil menunjukkan dan memberikan kepadaku tentang alasan terdesaknya dia.
"Ini dari siapa ya? Kok gak ada nama pengirimnya. Ini beneran untuk aku, Sif?" Aku belum yakin ini untuk diriku. Aku masih butuh kepastian. Nanti aku dikiranya cewek kege-eran.
"Iyalah Safa. Siapa lagi kalau bukan kamu. Di suratnyakan jelas ini tuh untuk kamu dan alamatnya cocok kok di rumah kita." Sifa menjelaskan ulang.
Setangkai bunga mawar merah harum menjadi pencuci jiwaku hari ini. Sungguh indah dan cantik. Aku memasukkannya ke dalam vas kecil milikku yang tak berisi di sudut meja belajarku. Lumayan untuk menambah warna pada ruang tidurku.
Mungkin aku baru melihat bunga mawar ini sehingga aku tak bosan-bosannya memandang bunga tersebut. Selalu saja tersenyum ketika melihat bunga itu. Aku tak tahu siapa yang memberi bunga itu tapi aku merasa senang diberi dengan pemberian kecil ini.
"Udah kali nge-liatnya. Aku kan mau diliatin juga." Sifa meledek kembarannya di ambang pintu kamarku.
"Abisnya aku bosan sih nge-liat kamu terus." Aku mambalas ledekannya.
Safa...Sifa...
Kami terdiam ketika mendengar panggilan ini. Sekarang suara ini tidak berbeda dari biasanya. Panggilan ini memiliki ke khas-an tersendiri di rumah ini. Ini adalah panggilan dari ayah kami. Kami menuju ke ruang tamu untuk menemui ayah.
"Iya ayah. Ada apa?" Kami menyahut setelah tiba di depan ayah.
"Eh putri-putri ayah sudah pulang sekolah ternyata." Kata ayah kepada kami dengan wajah berbinar melihat kami yang telah berada di rumah sejak tadi. Ayah sedang membaca koran di sofa.
"Mari, nak! duduk di samping ayah."
Kami pun segera memenuhi permintaan ayah. Ayah kan jarang ada di rumah. Biasanya sampai se-minggu ayah gak pulang-pulang karena mencari nafkah untuk keluarga. Terkadang kami merasa rindu kalau ayah sampai seminggu di luaran sana.
Bagiku, ayahku selalu indah di mataku daripada cahaya bintang. Saat aku merindukan ayahku, aku selalu melihat bintang di malam hari. Tapi, ketika ayahku berada di dekatku, seketika itupun aku melupakan indahnya cahaya bintang yang bersinar itu.
"Gimana nih. Anak ayah udah gak buat masalah lagi kan di sekolah?" Tanya ayah untuk menyelidiki perkembangan kami di sekolah.
"Ah ayah. Lagian sejak kapan kami sering buat masalah." Sifa membantah seolah menunjukkan bahwa ia adalah anak ayah yang baik hati, tak suka buat kekacauan.
"Sejak kapan yah?" Ayah berpura-pura tidak tahu dan berpikir tentang anaknya. Melihat kami yang semakin cemberut akan ketidakpercayanya kepada kami, ayah terkekeh pelan.
"Iya ayah tahu kok kalau putri-putri ayah ini adalah wanita hebat dan tangguh penerus mamanya." Kata ayah sambil mengelus rambut kami.
"Iya dong, yah." Dengan pedenya kami menjawab sanjungan dari ayah kami. Sanjungan yang tak akan pernah kami tolak adalah sanjungan dari ayah. Karena kami yakin sanjungan ayah tidak penah salah ataupun bohong. Berbeda dengan sanjungan si do'i yang penuh pencitraan.
###
Di sela-sela kebahagiaanku, ada-ada saja masalah yang menyertakannya. Tak henti-hentinya. Terkadang membuatku angkat tangan menghadapi semua ini. Belum seminggu aku di kontrak menjadi pekerja di sebuah restoran yang gajinya lumayan banyak, aku telah dipecat karena masalah sepele menurutku tapi katanya masalah besar untuk korban yang mengenainya.
Aku yakin sebelum aku mengantarkan pesanan aku telah memeriksa makanan tersebut besih dari apapun yang akan mengenainya. Saat itu, baru saja kumengantarkannya ke meja pelanggan, pelangganpun berteriak karena terdapat seekor cicak di dalam makanannya.
Padahal aku tak pernah menaruh seekor cicak ke dalam mangkok itu secara sengaja. Mungkinsaja cicak itu jatuh lalu masuk ke dalam mangkuknya. Karena aku yang mengantarkan pesanan itu, akulah yang akan kena marah oleh ketua restoran di sana.
TBC,

KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Fiksi Remaja"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...