"Sudah 2 bulan kalian tidak membayar spp. Ini bukan sekolah gratisan seperti yang kalian pikirkan. Seandainya kalian murid yang bisa membawa prestasi untuk sekolah ini. Saya masih bisa maklumi. Saya akan memberimu surat pemanggilan orang tua. Saya harap kalian memperlihatkan surat ini kepada orang tua kalian."PIPIT'S POV
"Astaga..dia kan cewek yang akhir-akhir ini dekat dengan Hanifan." Suara Pipit dalam hati menyaksikan kami yang terkena teguran. Kami tak tahu ada seseorang yang mengintip pembicaraan ini.
Aku berbolak-balik di depan ruang guru sambil menggigit jari. Aku baru sadar bahwa wanita yang sering bersama dengan mantan kekasihku adalah seorang yang kurang mampu. Aku memikirkan tentang kebahagiaan Hanifan. Aku sudah mempelajari bagaimana rasa ditinggalkan oleh orang yang disayangi. Aku tak ingin kejadian sama terulang lagi. Aku tak akan sanggup untuk memisahkan orang yang kucintai terhadap dia.
SAFA'S POV
"Kita gak mungkin memperlihatkan mama tentang surat ini, Saf." Kata kembaranku setelah keluar dari ruangan. "Iya, aku tau kok." Gumamku. Kami perlu berpikir keras untuk melewati kesusahan ini. "Apa yang akan kita lakukan?" Tanya adikku.
"Aku juga gak tau." Aku melanjutkan.
"Eh Safa, Sifa surat apa itu?" Darimana datangnya Hanifan? Tiba-tiba saja sudah berada dihadapan kami. Aku salah tingkah dengan pertanyaan Hanifan.
"I-nii su-rat". Aku berkata sambil menatap Safa berharap ada ide yang akan ia katakan.
"Oh ini laporan nilai kelas XI.IPS 1." Gerutuk Safa.
"Hmm. Iya, Nif." Sifa melanjutkan.
"Aku boleh liat, nggak? Aku mau liat nilainya Safa. Btw, kamu pintar nggak ya?" Hanifan sangat penasaran dengan isi suratnya. Hanifan langsung saja mencoba merampas dari tanganku. Tapi kujauhkan surat itu dari tangan Hanifan dan beralasan. "Nggak usah, nilai aku jelek kok. Aku malu kalau kamu tahu."
"Ouh gitu." Hanifan kembali menurunkan tangannya.
Begitulah kami walau dalam situasi sulit, kami tak ingin seorangpun tahu karena niat kami tidak ingin merepotkan orang lain. Dan kami tidak ingin tahu bahwa teman kami hanya ingin menemani kami karena rasa belas kasihan semata. Kami lebih percaya dengan kalimat things will be ok if you believe in your self.
"Btw, kalian mau nggak menyaksikan tempat latihan silat?"
"Silat? Ouh dengan senang hati." Aku keringat dingin menjawab setiap pertanyaan Hanifan. Ketakutan ini lebih parah daripada mimpi bertemu kuntilanak di tengah malam. Jawabku hanya ada 1 iya dan iya. Baru saja kami sampai di ruang latihan silat. Pipit pun menyusul kedatangan kami.
"Kelihatan seru kan,?". Tanya Hanifan.
"Iya." Kata Sifa.
"Coba lihat deh, Saf." Hanifan menunjuk ke arah sana.
"Kalau kita mau melakukan serangan, harus tepat sasaran."
Hanifan dan Safa berdiri sangat berdekatan. Aku yang berada di sini layaknya obat nyamuk di antara mereka. Ketika aku menjawab, jawabanku hanya diabaikan. Namun ada satu pengamatan.aku melihat wanita berdiri di dekat pintu sepertinya sedang memperhatikan Safa dan Hanifan yang asyik mengobrol. Mukanya sedih-sedih begitu.
PIPIT'S POV
Melihat mereka seperti melihat kembali diriku yang pernah ada di posisi wanita di samping Hanifan. Pertama kali ku mengenal Hanifan, ia juga pernah memperkenalkanku dengan olahraga ini. Asataga..kumemukul jidatku. Aku baru sadar kesenanganku pada silat adalah berkat dari Hanifan.
SIFA'S POV
Hey. Aku menyapa wanita itu. Dia menoleh ke arahku setelah mendengar sapaan itu. Nampaknya ia sangat antusias.
"Gabung yuk." Teriak diriku kepadanya.
Teriakanku ini membuat Hanifan dan Safa yang sedang mengobrol salfok dan mata mereka beralih kepada sapaan yang kutuju. Wanita itu kemudian menuju ke tempat kami berada.
"Namaku Sifa." Aku menjulurkan tanganku kepada wanita itu.
"Pipit." Ia melontarkan sebuah senyuman kearahku.
"Oh iya ini kembaranku, Safa dan di sebelahnya adalah Hanifan."
Pipit juga menjulurkan tangannya ke Safa.
"Aku kenal kok pria yang ada di samping Safa. Dia teman kelas aku."
"Ouh." Kata Sifa.
Katanya teman kelas kok ketemu kelihatan canggung sih. Seperti tidak kenal begitu. "Nif, disapa dong teman kelasnya. Kok didiemin gitu?". Aku heran dengan Hanifan yang mendiamkan teman kelasnya. Hanifan hanya terdiam dengan perintahku begitupun dengan Pipit. Maybe mereka punya sesuatu yang dipendam. Entahlah, aku bukanlah peramal yang bisa menebak diamnya seseorang.
"Krik..krik..krik." Jadinya serem deh saling berdiam diri. Kondisinya hening bener.
"Hmm." Hanifan memulai serta mengakhiri obrolan. Aku balik ke kelas dulu yah. Baru ingat, ternyata pr belum selesai." Hanifan terburu-buru untuk pergi. Aku menatap heran Hanifan yang bersikap aneh seperti ini. Perasaan tadi dia baik-baik saja kok. Eh tiba-tiba ngilang aja.
TBC,

KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian
Novela Juvenil"Agata!" Aku menyebut nama si pemilik rumah. "Safa!" Dia juga menyebut namaku. "Oh, sis. Dia yang sering aku ceritakan kepadamu." Agata berkata pada Carolin. Agata mendekatku dan melihat diriku yang telah hijrah. ...