-Negeri Impian-

30 2 0
                                    

"Wah ini cantik sekali, Fan. Kamu dapat darimana?" Pipit mengambil pemberian dari Hanifan dan tangisannyapun berhenti.

"Di sana." Hanifan menunjuk ke arah dimana ia menemukan bunga itu.

"Makasih ya." Pipit berkata pada Hanifan.

"Aku pulang dulu ya Pipit nanti kita ketahuan sama mama kamu. Kamu dimarahi lagi nanti." Hanifan meminta izin pada Pipit.

"Oke Hanif." Pipit berkata dan menutup kembali jendela kamarnya.

Hingga akhirnya...

"Mama ini tiket untuk siapa?" Pipit bertanya pada mamanya yang sedang membaca majalah.

"Untuk kita berdua. Besok kita akan berangkat ke Singapore untuk menyusul ayah di sana." Mama Pipit menjawab.

Pipit mendengar Hanifan ada di depan rumahnya. Lalu, Pipit meminta izin untuk menemui Hanifan yang terakhir kalinya dan Pipit diberi izin oleh mamanya.

"Tapi jangan lama-lama ya!" Mama Pipit memerintah.

Setelah berkeliling perumahan dengan naik sepeda. Pipitpun sampai kembali di rumahnya dan memberitahu kepada Hanifan tentang berita akan perginya dia.

"Hanifan besok aku akan pergi jauh." Kata Pipit setelah turun dari sepeda.

"Pergi kemana Pit?" Hanifan bertanya.

"Ke Singapore. Oh iya. Kalau kamu kangen sama aku kamu tinggal telepon ke nomor ini aja ya." Kata Pipit pada Hanifan untuk terakhir kalinya.

"Oke Pipit." Hanifan menjauh dari rumah Pipit dan Pipit melambaikan tangan pada Hanifan dan Hanifan tersenyum pada Pipit.

Saat Pipit sudah sampai di Singapore, Pipit melihat handphone mamanya bordering dengan nomor tanpa nama. Pipit mengangkat telepon itu.

"Halo, ini dengan siapa ya?" Pipit bertanya nama seseorang yang telah menelponnya.

"Ini Hanifan." Seseorang itu menjawab. Pipit kaget dan merasa rindu dengan teman yang setiap hari mengajaknya bermain.

Tut..Tut..Tut..

Mama Pipit mendengar Pipit masih berkomunikasi dengan Hanifan dengan cepat mama Pipit menghentikan panggilan yang tengah berlangsung dan mengganti nomor teleponnya. Nomor Hanifan yang belum sempat disimpan Pipit telah menghilang. Oleh karenanya Pipit tidak pernah menghubungi Hanifan sementara Hanifan mengira bahwa Pipit telah mengacuhkannya.

...

"Dulu Hanifan anak yang cupu. Dia sangat jarang bergaul. Saat itu, hanya aku temannya. Rumahnya yang jauh dari rumahku bahkan rela ke rumahku hanya untuk mengajakku bermain. Hanifan juga pernah membawaku ke tempatnya les silat dan karena itu aku juga menyukai silat.

Semenjak peringkatku menurun mama kecewa kepadaku dan menghukumku untuk sekolah di luar negeri selama 2,5 tahun. Aku baru masuk di SMA Pelita pada semester 2 dan saat itu aku melihat Hanifan telah berubah dan telah dekat denganmu." Pipit menjelaskan hubungannya dengan Hanifan yang pernah sedekat nadi.

"Iya kamu benar Hanifan dulu anak yang cupu dan suka menyendiri. Aku mengenal Hanifan saat baru masuk di SMA Pelita. Waktu itu kami sedang OSPEK, aku melihat Hanifan yang sedang menyendiri. Aku yang juga belum memiliki teman mencoba untuk mengajaknya mengobrol.

Awalnya, dia masih malu-malu tapi lama-kelamaan dia semakin terbuka denganku dan kepada siswa yang lain dan lambat launpun dia merubah penampilannya." Aku juga menjelaskan pada Pipit tentang awal perkenalanku dengan Hanifan.

...........

Sepagi ini aku telah dilihatkan dengan peristiwa yang tak meng-enakkan. Baru saja kemarin berjanji namun sekarang sudah mengkhianati. Rasa benci ini kembali lagi. Melihatnya dengan orang lain terasa menyakitkan. Aku tidak terima dibohongi dan langsung mempergoki mereka.

"Gimana enak gak rotinya." Agata menyuapi wanita lain di ruang makan karantina.

"Iya enak banget." Wanita itu menjawab pertanyaan dari Agata. Mereka mengobrol dengan sangat mesra.

"Agata!" Aku menyapa Agata namun dia tidak mendengarkanku. "Agata!" Aku menyapanya untuk kedua kalinya.

"Apaan sih! Mengganggu orang pacaran saja!" Agata langsung berdiri dari tempat duduknya dan Agata membentakku.

"Apa?" Kataku kaget dan mataku mulai berkaca-kaca. Santai sekali dia mengatakan demikian seperti tidak pernah mengenalku saja.

"Dia itu siapa Agata?" Tanyaku padanya.

"Kamu tuh yang siapa! Kerjanya Cuma mengganggu orang saja." Agata malah nyolot kepadaku.

Agata yang tak kunjung menjawab pertanyaanku langsung kutinggalkan dari tempatnya berada. Aku hanya menyimpan sakit hatiku karena telah tertipu oleh manisnya kata dia. Aku telah menjalin hubungan dengannya baru 2 bulan lalu tapi dia telah bertingkah aneh di depanku.

Aku masuk kembali ke dalam kamarku dan aku sedang menangis di dalam. Namun pak Natsir telah menyuruh kami untuk berkumpul di lapangan untuk mengikuti proses latihan. Akhirnya aku keluar lagi dari kamar dan mengambil barisan di tengah lapangan.

Semua murid memakai baju olahraga ciri khas dari SMA Pelita. Pak Natsir menyuruh kami untuk berlari pagi mengelilingi daerah sekitar karantina. Aku berlari sendirian tak ada teman di sampingku sedangkan Agata di depanku bersama dengan wanita lain.

"Kamu kelihatan keringatan yah." Wanita itu berkata pada Agata yang berada di sampingnya. Wanita itu menyapukan keringat Agata dengan handuk yang ada di lehernya.

Aku hanya menatapnya sinis. Tiba-tiba Hanifan mengejarku dan tinggal bersamaku di tengah perlarian yang tengah kami jalani. Hanifan mengajakku mengobrol.

"Safa, kok kamu sendirian sih? Pacar kamu dimana?" Hanifan bertanya padaku dan aku menjawab pertanyaannya dengan lirikan mataku.

"Keterlaluan banget dia. Cowok macam apa sih dia." Hanifan berkata dengan membesarkan suaranya hingga Agata mendengarnya. Sedangkan aku tetap fokus untuk berlari-lari kecil. Aku yang sibuk mengawasi Agata tak melihat kayu dihadapanku.

Akhirnya satu kakiku tersangkut di kayu tersebut. Jatuhlah aku. Tanganku yang tertempel dengan tanah telah terkena duri daun putri malu. Padahal tanganku baru saja sembuh dari luka.

"Aduh!" Aku terjatuh dan kaget sendiri. Agata menengok ke belakang hanya sebentar saja kemudian Agata melanjutkan larinya lagi tanpa berniat untuk membantuku.

"Safa kamu gak papa kan?" Hanifan menghentikan larinya setelah melihatku jatuh dan menanyakan kondisiku. Hanifan malah lebih perhatian dari Agata.

"Tanganmu berdarah Safa." Hanifan berkata dengan melihat tanganku. Aku yang baru tahu tanganku berdarah baru melihatnya setelah Hanifan berkata.

"Iya yah." Jawabku santai.

"Agata tangan pacar kamu berdarah tuh. Bantuin kek!" Hanifan memerintah Agata yang lebih berhak untuk membantuku. Agata tetap berlari seperti tak mendengarkan Hanifan.

"Sudah Hanifan. Agata sudah berubah sekarang. Nggak usah diladenin." Kataku pada Hanifan yang percuma berteriak sedari tadi.

"Ya sudah kalau begitu Agata. Biar aku yang membantu Safa kalau kamu tidak mau." Hanifan berkata sambil berteriak lagi.

"Sini tanganmu Safa." Hanifan menyuruhku untuk memberikan tanganku kepadanya. Diambilnya daun sirih di dekatnya lalu daun sirih itu ia tempelkan ke tanganku yang berdarah.

Setelah tanganku diobati akupun melanjutkan perjalanan berlariku bersama dengan Hanifan. Selama 30 menit kami berlari mengelilingi daerah sekitar karantina. Aku sangat kehausan tenagaku sudah habis karena terlalu banyak mengeluarkan keringat. Bukannya Agata yang memberiku minuman malah Hanifan lebih dulu memberiku minuman.

TBC

Negeri Impian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang