BAB 19: Bimbingan Sesi 3

54.6K 6K 315
                                    

Aria tak kunjung melepaskan genggamannya pada kemeja Mahesa. Dia takut kalau yang dialaminya saat ini hanyalah mimpi. Semalaman ia tidur di pelukan suaminya, terasa nyaman dan aman. Kedua tangan kokoh pria itu melingkar sempurna pada tubuhnya, hangat tubuh mereka pun sangat menenangkan. 

Tidak, keduanya belum sampai tahap di sana. Mahesa tidak ingin memaksakan kehendaknya meminta sesuatu yang sudah menjadi haknya. Hanya saja, Aria masih terlalu muda. Lagi pula bagi Mahesa, masih banyak cara untuk menunjukkan perasaannya pada gadis itu.

Pagi itu Mahesa tersenyum menggenggam tangan Aria yang menggenggam kemejanya erat. Sudah waktunya mereka bangun, ia tahu jika hari ini Aria tidak memiliki jadwal kuliah, tidak sepertinya yang memiliki jadwal mengajar di kampus hingga sore.

"Aria, saya harus pergi ke kampus."

"Hm?" Aria tidak ingin Mahesa pergi. Dilepaskan genggamannya ganti melingkarkan kedua tangan juga kakinya pada tubuh pria itu. Mahesa semakin terkungkung dibuatnya. "Bisa nggak hari ini libur?" pinta Aria merajuk.

"Saya, kan, cuma pegawai yang digaji, nggak punya hak untuk bebas izin libur, Aria. Kamu kira saya CEO-CEO di novel yang sering kamu baca? Saya nggak sepengangguran itu."

Aria masih saja merajuk tak ingin Mahesa untuk pergi ke kampus. Ia masih ingin memeluk pria itu. Rasanya saat tangan besar Mahesa mengelus menelusuri surainya semua beban juga berbagai macam problematika hidupnya rontok tak tersisa. Apalagi saat Mahesa mencium pipinya, Aria tidak pernah merasa sebahagia ini.

Mahesa yang notabenenya punya tenaga lebih besari dari Aria dengan mudah melepaskan lilitan tangan juga kaki gadis itu. Tanpa kesulitan Mahesa membalik posisi mereka, kini pria itu menahan kedua tangan Aria agar tidak lagi berusaha memeluknya.

"Mas!" protes Aria tidak terima. Mahesa kian mengetatkan tangannya saat Aria mencoba untuk bangun. Jantung gadis itu berpacu semakin cepat saat Wajah suaminya kian mendekat. Saat tersisa beberapa senti, Aria memejamkan matanya menanti sesuatu yang ia dambakan sedari tadi malam. Pucuk dicinta ulam pun tidak tiba, Aria meringis geli ketika Mahesa menggigit pipinya. Ah, padahal bukan itu yang diinginkannya

"Jangan digigit! Geli tahu!"

Bukannya berhenti, mendengar protes dari Aria justru semakin menggencarkan aksi Mahesa menggigit juga memberikan banyak kecupan di wajah gadis itu. Aria benar-benar kesal dibuatnya, sedari tadi malam Mahesa mengecup pipinya padahal diam-diam Aria menginginkan sesuatu yang lain. Dia kira Mahesa akan memberikan ciuman di bibir nyatanya setiap kali Aria memberi kode pria itu berakhir mengecup pipinya sampai-sampai pipinya terasa gatal.

Mahesa pun berhenti menggoda gadis itu saat dirasa matahari beranjak semakin siang. "Nanti malam biar aku yang masak. Kamu fokus mengerjakan skripsimu dulu, paham?"

Aria mengerang kesal diingatkan satu kata itu. Saat Mahesa keluar dari kamarnya, dilihatnya jam weker di atas meja belajarnya yang masih menunjukkan pukul setengah enam. Masih terlalu pagi untuk bangun. Aria menarik selimutnya untuk kembali tidur. 

Pemandangan sebuah pantai terlihat sangat indah sore itu. Matahari terbenam menghantarkan cahaya jingga membuat Aria tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam erat tangan Mahesa. Ah, Aria sampai bingung harus menikmati pemandangan matahari terbenam atau melihat wajah tanpa suaminya. Dress putih selututnya berkibar perlahan tertiup angin pantai. Aria ingin seperti ini selamanya.

"Apa pun yang terjadi nanti, Mas hanya butuh kepercayaanmu, Aria."

Aria mendongak, Mahesa ternyata sedang tersenyum ke arahnya. "Cukup memegang tanganmu saja rasanya Mas bisa melakukan apa pun untuk kamu." Wajah gadis itu memerah saat tangan besar Mahesa menangkup pipinya. 

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang