BAB 37: Ikhlas Tertinggi

38.7K 3.3K 57
                                    

Waktu perjalanan mereka hanya diisi oleh keheningan. Tak ada lagi gumaman Annalise yang bernyanyi. Annalise bahkan sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Pikiran kalut tak bisa mengerti apa yang telah terjadi. Papa dan mamanya juga tak pernah mengatakan apapun. Ia memang tahu kalau Aria dan Mahesa dekat tapi tak pernah dibayangkan bahwa kedua tangan yang berjaga jarak itu pernah saling bertaut atau mungkin masih?

Mata Annalise memejam segera berpura-pura tidur saat Mahesa memberhentikan mobilnya di tempat parkir umum. Jantungnya berdetak kencang tat kala pintu di samping terbuka. "We arrived. It's time to wake up, Ann." Tangan kurus Annalise melingkar pada leher Mahesa saat pria itu mengangkat tubuhnya. Tak lupa juga Annalise mengucapkan terimakasih pada Aria yang sudah kerepotan mengeluarkan kursi roda dari bagasi dan memasangkannya.

Sebuah mobil menyusul ternyata kedua orang tuanya ikut ke pantai bersama mereka. Senyum Annalise merekah saat Aria menggenggam tangannya dan Mahesa mendorong kursi roda pada jalan setapak berpasir.

"Wah! Finally, my vitamin sea." desah Annalise memejamkan matanya menikmati terpaan angin laut yang sudah lama ia dambakan.

Aria bergegas memasang alas kain dan mengeluarkan bekal mereka. Karena kursi roda tak bisa melewati pasir-pasir tersebut, Mahesa kembali mengangkat tubuh Annalise dan diletakkanya perlahan di atas alas kain yang telah disiapkan oleh Aria.

"Bagaimana? Senang?" tanya Indira yang ikut bergabung duduk.

"Banget, Ma!"

Aria juga ikut bahagia. Rasanya ini adalah senyum terlebar kakaknya beberapa hari terakhir.

Pantai itu jauh lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena sekarang adalah hari kerja. Hanya satu dua orang lewat yang menawarkan mereka layang-layang. Sebuah layang-layang berbentuk burung dengan ekor panjang menarik perhatian Annalise tapi ia yang sadar diri tak bisa berlari seperti dahulu kala hanya menundukkan matanya menatap kedua tangan yang tergenggam di atas pangkuan.

"Jadi ingat waktu dulu kita liburan di bali. Aria masih sembilan tahun kali, dia nggak bisa terbangin layang-layang sampai nangis sampai dan aku harus lari-lari buat nerbangin biar Aria nggak nangis lagi," ujar Annalise mengingat memori masa lalu mereka.

Aria yang menjadi topik pembicaraan menutup wajahnya malu. Dia ingat betul masa-masa melakukan itu. Sebenarnya ia menangis bukan karena tidak bisa menerbangkan layang-layangnya melainkan karena rasa bersalahnya.

Pada saat itu Aria tengah terlibat adu argumen dengan seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Aria juga ingin menerbangkan layang-layang tapi anak laki-laki tersebut bilang jika layang-layang adalah permainan anak laki-laki. Aria pun ditantang jika bisa menerbangkan layang-layang Aria boleh memukul wajahnya. Tentu saja Aria sangat ingin melakukan itu setelah apa yang dikatakan anak laki-laki itu menyakiti hatinya.

Anak laki-laki tersebut bantu memegangkan Aria layang-layang. Dengan sengaja, anak tersebut melepaskan terlalu cepat atau kadang dalam beberapa percobaan layang-layangnya dilempar begitu saja hingga tak bisa menangkap angin untuk terbang. Aria yang sudah kepalang kesal berteriak membuat Annalise, Bima dan Indiria yang berirstirahat terkejut.

Sebagai seorang kakak Annalise sigap menengahi adiknya yang wajahnya sudah semerah tomat akibat sinar matahari dan amarah. Annalise pun bertanya apa yang terjadi. Aria dan anak laki-laki tersebut terlibat argumen kembali karena mereka memiliki cerita versi masing-masing. Aria bilang dia hanya ingin menambah teman baru, sedangkan anak tersebut bilang Aria ingin merebut layang-layangnya.

Tak mendapatkan titik temu kini Annalise berdiri menggantikan Aria untuk meminta maaf. Aria yang tidak terima kakaknya meminta maaf hanya diam dengan mata yang berair siap menangis. Annalise segera mendorong adiknya kembali untuk berisitirahat memakan bekal yang telah Indira siapkan.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang