BAB 10: Oleh-Oleh

51.3K 6.1K 330
                                    

Aria pikir setelah makan bisa langsung kabur ke dalam kamar. Rupanya Mama masih ingin berbincang lebih lama dengan kedua manusia itu. Di ruang tamu kini mereka duduk bertiga dengan masing-masing segelas teh yang Mahesa seduhkan. 

Mama berkali-kali membuka percakapan dengan Aria hanya untuk berbasa-basi. Walaupun dulu mereka dipertemukan dalam keadaan tidak bersahabat, tapi Aria bisa merasakan kalau Mama mertuanya itu adalah orang yang baik dari usahanya untuk berbincang dengannya. Dari luar memang terlihat dingin, apalagi cara berbicaranya sambil mengangkat dagu. Beuh, orang awam pasti melihat wanita itu sebagai orang yang angkuh. Tapi, ya, benar juga sih, mama mertuanya itu orang yang angkuh dengan menjunjung harga diri setinggi-tingginya. 

"Aria juga boleh main ke rumahnya Mama sekali-sekali," ajak Mama Mahesa tanpa memandangi Aria. Gadis itu tersenyum melihat sikap malu-malu mama mertuanya. 

"Kalau Aria terserah Pak Mahesanya, Ma." Wanita itu mengernyit mendengar panggilan menantunya untuk anaknya.

"Mama dengarkan dari tadi panggilan Aria untuk Mahesa, kok, aneh ya?" tanya Mama.

"Aneh bagaimana, Ma?" tanya Mahesa balik. Ia merasa tak ada yang aneh dari cara Aria memanggilnya. Bukannya itu adalah hal yang seharusnya Aria lakukan untuk tetap menjaga sopan santun antar keduanya. Mereka terikat hubungan seorang dosen dan mahasiswa, jadi ada ruang yang tidak boleh mereka lewati, bukan?

"Kalian, kan, suami istri, seharusnya Aria memanggil Mahesanya dengan sebutan Mas. Masa iya sampai tua nanti manggilnya Bapak terus? Walaupun Aria mahasiswanya Mahesa, tapi kalau di rumah sebutannya diubah, bisa?"

Nggak bakal sampai tua kok, Ma. Aria memaksakan senyuman. Mau dibantah juga percuma. Namanya orang tua, susah diajak berdiskusi terbuka. Apalagi mendengar nada tegas dari Mama Mertuanya membuat Aria tak ingin menambah masalah.

"Iya, Ma, Aria usahakan," jawab Aria ala kadarnya. Perbincangan berubah menjadi lebih cair saat Mahesa membawakan oleh-oleh sebuah kimono sutra untuk mamanya. Aria sempat iri melihat kimono cantik itu berwarna merah itu. Bahkan oleh-oleh gantungan kunci saja tidak dibawakan oleh Mahesa untuknya. Dasar manusia pelit! Yakin, deh, bahkan Mahesa sama sekali tidak memikirkan Aria saat di Jepang kemarin.

Eh, tapi, kok, Aria jadi kesal sendiri? Gadis itu mengalihkan pandangannya saat Mahesa menatapnya sekilas.

Dasarnya tubuh mama mertua masih langsing, ketika mencoba kimono, aura wibawanya semakin terpancar. Dengar cerita dari Annalise, Mahesa ini masih ada keturunan Jepang dari mamanya. Kakeknya adalah pejabat kekaisaran Jepang pada saat itu. Makanya jangan heran, jika relasi keluarga Mahesa sangatlah luas hingga kancah internasional. Kimono itu akan digunakan Mama untuk pergi ke acara pernikahan anak salah satu duta besar Jepang nanti. Elit banget, kan, keluarganya Mahesa? Aria sendiri sampai terperangah mendengarnya.

Mama keluar dengan pakaian kimononya. "Bagaimana, Aria? Bagus?" Aria benar-benar dibuat kagum dengan mama. Kepala gadis itu otomatis mengangguk. Setelah mengangkat dua ibu jarinya, Aria memberikan cheff kiss sebagai bentuk puas akan apa yang dilihatnya. Mama tertawa kecil membuat Mahesa menaikkan alisnya sedikit terkejut. kepalanya menoleh ke arah Aria dan mamanya bergantian. Sejak kapan humor mama hanya sebatas cheff kiss dari Aria? tanya Mahesa di kepalanya.

"Kamu mau coba juga?" tawar Mama kepada Aria. Otomatis gadis itu menggeleng sungkan. Tanpa mengindahkan penolakan dari Aria, mama menarik lengan gadis itu meninggalkan Mahesa di sofa sendirian. Pria itu terlihat tidak peduli, ia mengambil ponsel dan membuka beberapa email yang belum ia periksa setelah kedatangannya tadi.

Di kamar, Aria hanya pasrah mengikuti arahan dari mama. Bahkan mama tak segan melihat pakaian dalam Aria membuat gadis itu canggung setengah mati. Wajahnya merah padam saat mama menyentuhnya di sana dan sini. 

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang